
AKHIRI DRAMA PEMBATASAN PELIPUTAN OPENING CEREMONY PORDA XVII DIY, AGUS MANTARA KETUA PORDA: MONGGO WARTAWAN MELIPUT MASUK KE STADION
Gunungkidul TV – Kabupaten Gunungkidul tengah bersiap mencatat sejarah besar, Selasa (9/9/2025) malam di Stadion Gelora Handayani menjadi saksi perhelatan akbar Pekan Olahraga Daerah (PORDA) XVII DIY. Sebagai tuan rumah, sorotan publik jelas tertuju ke Kabupaten Gunungkidul. Namun, di balik gegap gempita pesta olahraga ini, terselip kisah yang tak kalah menarik drama pembatasan peliputan media.
Informasi yang beredar menyebutkan, Dinas Kominfo Gunungkidul hanya membuka akses peliputan kepada 30 media saja. Kebijakan ini sontak menuai tanda tanya besar. Mengapa momentum bersejarah justru dibatasi dokumentasinya?
Padahal, jurnalis di Gunungkidul sudah lama menjadi mitra strategis pemerintah daerah. Mereka hadir dalam setiap geliat pembangunan, mengedukasi masyarakat lewat pemberitaan yang jernih, sekaligus mengabadikan perjalanan daerah. Bagi mereka, PORDA bukan sekadar pesta olahraga, melainkan catatan penting dalam perjalanan sejarah Gunungkidul.
Namun kenyataannya, sebagian jurnalis harus menelan kekecewaan. Beberapa media yang selama ini konsisten mengawal isu-isu daerah tak bisa serta-merta masuk ke arena liputan. Rasa kecewa itu wajar, sebab profesi mereka bukan hanya mencari berita, melainkan ikut menyalurkan semangat sportivitas dan kebanggaan bagi warga.
Menanggapi hal ini, Ketua Panitia PORDA XVII DIY 2025 Kabupaten Gunungkidul, Agus Mantara, memberikan angin segar. Ia menegaskan bahwa urusan teknis peliputan memang berada di bawah kewenangan Dinas Kominfo, namun dirinya membuka ruang seluas-luasnya bagi insan pers. “Saya selaku ketua panitia memberikan ruang bagi teman-teman pers untuk meliput kegiatan PORDA XVII DIY. Cukup tunjukkan kartu pers kepada panitia di lapangan,” ujarnya, Selasa siang.
Agus juga menambahkan bahwa keberadaan media sangat penting, terutama untuk menyuarakan semangat kebersamaan yang diusung ajang olahraga terbesar di DIY ini. “Profesi jurnalis memiliki peran strategis untuk menyebarluaskan semangat sportivitas dan kebanggaan daerah. Mari kita kawal PORDA ini bersama. Kalau ada yang tidak diperbolehkan meliput, hubungi saya,” tegasnya.
Kisah pembatasan peliputan ini seolah menjadi pengingat bahwa olahraga dan media berjalan beriringan. Atlet berjuang di lapangan, sementara jurnalis berjuang di balik pena dan kamera. Keduanya sama-sama mengukir sejarah.
Malam nanti, ketika kembang api menghiasi langit Gelora Handayani, publik mungkin hanya melihat meriahnya pesta pembukaan. Namun di balik itu, ada tekad kuat para pewarta memastikan bahwa peristiwa ini tak hanya menjadi tontonan, melainkan juga catatan abadi bagi generasi mendatang. (Red)