
CAMPURSARI DARI GUNUNGKIDUL UNTUK INDONESIA, FESTIVAL NASIONAL CAMPURSARI 2025 MERIAHKAN TAMAN BUDAYA GUNUNGKIDUL
Gunungkidul TV – Suara gamelan berpadu harmonis dengan alunan gitar elektrik. Denting siter menari di antara hentakan kendang, mengalun menyapa telinga penonton yang memenuhi auditorium lantai tiga Taman Budaya Gunungkidul. Dari tanggal 11 hingga 13 September 2025 lalu, ruang seni itu menjadi saksi bagaimana Festival Nasional Campursari 2025 bukan hanya sebuah panggung hiburan, melainkan juga perayaan identitas budaya.
Tak kurang dari 30 grup campursari dari berbagai daerah di Jawa tampil silih berganti. Ada yang datang dari Wonogiri, Sragen, Bantul, hingga tuan rumah sendiri, Kabupaten Gunungkidul. Uniknya, di antara mereka terdapat pula seniman asal Gunungkidul yang memilih berproses dalam grup dari kabupaten lain. Fenomena ini, alih-alih menimbulkan sekat, justru memperlihatkan betapa campursari adalah seni yang menyatukan lintas batas wilayah. “Campursari lahir di Gunungkidul, melalui tangan maestro Manthous. Dari sini kita ingin menunjukkan ke nusantara bahwa musik ini bukan sekadar hiburan, tetapi warisan yang layak kita banggakan bersama,” ujar Bupati Gunungkidul, Endah Subekti Kuntariningsih, dalam sambutannya.
Bupati juga memberikan arahan khusus kepada Dinas Kebudayaan agar festival antar kabupaten/kota berbasis KTP bisa lebih tertata. Menurutnya, Gunungkidul justru patut bangga karena campursari kini dicintai seniman dari berbagai daerah. “Kalau seniman luar hadir ke Gunungkidul, mereka bisa langsung merasakan atmosfer ibukota campursari, bermalam di Bumi Handayani, sekaligus menikmati kuliner dan membeli oleh-oleh khas Gunungkidul,” tegasnya. Ia menambahkan bahwa semangat kompetisi nasional ini memang mengharuskan masing-masing kabupaten/kota hadir secara resmi membawa nama daerahnya.
Namun, di balik euforia, ada pula suara publik yang menyoroti fenomena seniman Gunungkidul bergabung dengan grup luar daerah. Sebagian masyarakat menilai hal itu bukan bentuk pengkhianatan, melainkan karena tidak semua seniman dirangkul dan dihargai di daerahnya sendiri. “Kadang kader seniman kita justru kurang mendapat apresiasi di rumah sendiri. Maka wajar kalau ada yang akhirnya bergabung dengan kontingen kabupaten atau kota lain ketika ada lomba campursari,” ungkap seorang pemerhati budaya lokal.
Salah satunya adalah Wahyu Prasetyo, pemuda asal Semanu yang sejak remaja jatuh cinta pada campursari. Di festival ini, ia tampil bukan bersama grup asal Gunungkidul, melainkan dengan komunitas seni dari Klaten. “Saya memang asli Gunungkidul, tapi perjalanan musik mempertemukan saya dengan kawan-kawan Klaten. Bagi saya, ini bukan soal asal grup, tapi soal menjaga agar campursari tetap hidup,” ujarnya usai tampil.
Wahyu mengaku bangga bisa mengharumkan nama daerahnya, meskipun lewat panggung kabupaten lain. Baginya, justru kesempatan itu menjadi jembatan untuk memperkenalkan Gunungkidul lebih luas. “Setiap kali tampil, saya selalu cerita kalau saya dari Gunungkidul, tanah kelahiran campursari. Jadi, meskipun tampil di grup luar, hati saya tetap untuk kampung halaman,” tambahnya.
Festival yang digelar gratis dan terbuka untuk umum ini mendapat sambutan hangat masyarakat. Penonton lintas generasi dari sesepuh penggemar campursari hingga anak muda ikut larut dalam suasana. Sorak tepuk tangan menggema, memperlihatkan bahwa musik perpaduan tradisi Jawa dan nuansa modern ini masih punya ruang luas di hati publik.
Tak hanya sekadar pertunjukan musik, acara ini juga menjadi ruang penghormatan bagi almarhum Manthous, tokoh legendaris pencipta genre campursari yang namanya begitu melekat dengan Gunungkidul. Pemerintah daerah bahkan tengah mendorong agar campursari dipatenkan melalui HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual), sebagai upaya mempertegas identitas seni khas Gunungkidul di tingkat nasional.
Lebih jauh, festival ini diyakini membawa dampak ekonomi sekaligus pariwisata. Ratusan pelaku seni, penonton, hingga wisatawan yang datang, memberi denyut baru pada perputaran ekonomi warga sekitar. Warung makan, penginapan, hingga pedagang kaki lima di sekitar venue ikut merasakan berkah.
Dalam pandangan para penonton, festival ini tak hanya memanjakan telinga, tapi juga menjadi pengingat bahwa budaya adalah rumah. Seorang pengunjung dari Bantul mengaku sengaja datang sejak hari pertama. “Rasanya adem, seperti pulang kampung lewat nada dan syair. Apalagi tahu kalau banyak anak muda juga tampil, jadi yakin campursari tidak akan punah,” ungkapnya.
Dengan antusiasme publik yang begitu tinggi, Festival Nasional Campursari 2025 membuktikan satu hal: seni tradisi tidak harus kalah oleh zaman. Justru ketika dibungkus dengan semangat kebersamaan, ia bisa hadir lebih segar, lebih meriah, sekaligus lebih membanggakan. (Red)