
G30S/PKI: MENGGALI KEMBALI TRAGEDI, MENGUATKAN INGATAN BANGSA INDONESIA ZAMAN NOW
Gunungkidul TV – Setiap akhir September, bangsa ini seperti dipanggil untuk membuka kembali salah satu bab paling kelam sejarah Indonesia: Gerakan 30 September 1965 atau G30S/PKI. Peristiwa ini bukan sekadar catatan di buku teks, melainkan kejadian nyata yang mengguncang kehidupan politik, sosial, dan budaya negeri. Dalam semalam, peta kekuasaan berubah. Para jenderal diculik dan dibunuh. Atmosfer ketakutan menyelimuti rakyat, dan tudingan terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI) meluas.
Selama lebih dari tiga dekade, masyarakat hanya mengenal satu versi cerita narasi resmi Orde Baru yang menegaskan PKI sebagai dalang tunggal. Film dokumenter yang wajib ditonton di sekolah-sekolah meneguhkan citra itu. Generasi yang tumbuh di masa itu hafal jalan cerita, namun jarang mendapat kesempatan menguji kebenarannya. Setelah reformasi 1998, pintu menuju sumber-sumber baru dan penelitian independen mulai terbuka. Sejarawan dalam dan luar negeri mengungkap bahwa peristiwa ini lebih kompleks daripada hitam-putih yang kita kenal.
Kini Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) merilis naskah sumber arsip PKI periode 1923–1985. Dokumen ini memuat surat-surat Soekarno pada Oktober 1965, laporan intelijen asing, hingga catatan militer. Ada pula sejarah lisan berupa kesaksian eks tahanan politik, korban pembantaian, dan keluarga mereka. Semua ini memberi kita bahan mentah untuk menilai sendiri apa yang sebenarnya terjadi.
Penelitian akademis terkini pun memperluas pandangan. Ada kajian tentang bagaimana memori kolektif eks-tahanan politik dibentuk; studi mengenai stigma negara terhadap mereka; sampai analisis bagaimana kurikulum sekolah mengajarkan G30S/PKI kepada generasi muda. Hasilnya menunjukkan, memahami sejarah ini bukan hanya soal mencari “dalang”, tetapi juga melihat bagaimana perebutan kekuasaan, polarisasi ideologi, dan propaganda yang tak terbantah bisa menjerumuskan bangsa ke jurang kekerasan massal.
Mengapa ini penting? Karena tragedi semacam ini lahir ketika dialog buntu, perbedaan dipolitisasi, dan kebencian dibiarkan tumbuh. Dengan membuka arsip dan membaca kajian akademis yang berimbang, kita belajar menahan diri dari retorika ekstrem, menghargai hak asasi manusia, dan menjaga demokrasi agar peristiwa serupa tidak terulang. Menghormati korban baik yang dianggap pahlawan revolusi maupun mereka yang jadi sasaran pembalasan adalah bagian dari keadilan sejarah.
Bagi generasi muda, pelajaran G30S/PKI mestinya tidak berhenti pada hafalan tanggal dan nama, tetapi mengajak berpikir kritis: bagaimana narasi sejarah dibentuk, siapa yang menulisnya, dan kepentingan apa yang menyertainya. Dengan begitu, ingatan kolektif bangsa bisa lebih sehat: bukan untuk menakut-nakuti, melainkan untuk menguatkan kesadaran akan pentingnya toleransi dan kemanusiaan.
Sejarah G30S/PKI bukan hanya lembaran lama yang selesai dibaca. Ia adalah cermin. Dari cermin itu kita bisa bercermin: bagaimana kita memperlakukan perbedaan, menghargai nyawa manusia, dan menyusun narasi bangsa secara lebih adil. Dengan pemahaman semacam ini, tragedi kelam bisa bertransformasi menjadi pelajaran berharga, bukan sekadar momok yang diwariskan.
Menyibak Arsip ANRI: Jejak Asli G30S/PKI yang Lama Terkunci”
Di sebuah ruang penyimpanan bersuhu dingin di kawasan Cikini, Jakarta, lembaran-lembaran sejarah yang dulu hanya disebut-sebut kini mulai terbuka. Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) tengah mengangkat kembali dokumen-dokumen asli seputar Partai Komunis Indonesia (PKI) dan peristiwa Gerakan 30 September 1965. Inilah gudang data yang bisa mengubah cara kita melihat salah satu tragedi paling kelam di republik ini.
Selama puluhan tahun, publik hanya disuguhi satu versi cerita. Film dokumenter yang wajib ditonton setiap akhir September menjadi kitab resmi bagi generasi sekolah. Namun sejak reformasi, pintu arsip perlahan dibuka. ANRI kini merilis naskah sumber arsip PKI periode 1923–1985, lengkap dengan dokumen militer, laporan intelijen asing, surat pribadi Presiden Soekarno, hingga rekaman wawancara dengan mantan tahanan politik.
Di antara dokumen itu ada surat-surat Soekarno kepada Ratna Sari Dewi yang ditulis pada Oktober 1965 bulan-bulan paling genting dalam sejarah politik Indonesia. Ada pula laporan intelijen Amerika Serikat, arsip Komando Operasi Tertinggi (KOTI), serta transkrip wawancara para saksi dan korban. Semuanya menjadi bahan mentah bagi sejarawan, peneliti, dan masyarakat untuk menilai sendiri apa yang sebenarnya terjadi, di luar propaganda dan stigma.
Meski begitu, akses terhadap arsip ini belum sepenuhnya bebas. Banyak dokumen masih berstatus tertutup dengan alasan keamanan nasional dan sensitivitas politik. ANRI juga terus berupaya memulangkan ribuan berkas yang tersimpan di luar negeri termasuk dokumen CIA yang berkaitan dengan Indonesia tahun 1965 agar publik Indonesia bisa mengaksesnya.
Mengapa ini penting? Karena sejarah bukan sekadar hafalan nama dan tanggal. Dokumen asli membuka ruang berpikir kritis bagi generasi muda, memperluas pemahaman kita tentang bagaimana perebutan kuasa, polarisasi ideologi, dan propaganda yang tak terbantah bisa menyeret bangsa ke jurang kekerasan massal. Arsip ANRI memberi peluang bagi bangsa ini untuk menyusun narasi yang lebih adil: menghormati para korban, mengingat tragedi, dan belajar agar kesalahan serupa tak terulang.
Dengan memanfaatkan arsip-arsip tersebut, kita bisa beralih dari sekadar mengulang cerita resmi menuju pemahaman yang lebih jernih. G30S/PKI bukan hanya lembaran kelam, melainkan cermin. Dari cermin itu, kita belajar menahan diri dari kebencian, menjaga demokrasi, dan memuliakan kemanusiaan. (Red-disarikan dari berbagai sumber)