
KENAIKAN UMK/UMP SUATU DAERAH BISA PICU INFLASI, BEGINI ANALISIS DAN SOLUSI EKONOM
Gunungkidul TV – Dalam siaran Program Santai Siang Pro 2 RRI Sibolga, Rabu (31/7/2024) pernah mengangkat topik yang diangkat terasa ringan namun berdampak besar: Seberapa besar pengaruh Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) terhadap inflasi?” Sebuah pertanyaan yang ternyata membuka perbincangan menarik tentang keseimbangan antara kesejahteraan pekerja dan stabilitas ekonomi nasional.
Dari perbincangan yang juga dirujuk dari kanal Youtube IDX Channel Insights, tergambar jelas bahwa kebijakan penetapan UMK bukan hanya soal angka. Ia menyentuh denyut nadi ekonomi masyarakat dari dapur rumah tangga buruh hingga ruang rapat para pengusaha.

Ketika UMK Naik, Harga Pun Ikut Menanjak
Setiap tahun, pemerintah daerah menetapkan UMK dengan tujuan mulia menjamin kesejahteraan pekerja. Namun, kenaikan upah seringkali diikuti efek domino yang tak terhindarkan. Perusahaan, terutama di sektor padat karya seperti manufaktur dan tekstil, menghadapi kenaikan biaya produksi.
Untuk menutup beban itu, mereka terpaksa menaikkan harga jual barang dan jasa. Maka terjadilah inflasi kenaikan harga secara umum yang menggerus daya beli masyarakat.
Kondisi ini menjadi paradoks. Di satu sisi, pekerja menikmati upah lebih tinggi, tetapi di sisi lain harga kebutuhan pokok juga ikut melambung. Daya beli meningkat hanya sesaat, sebelum inflasi memakan kembali kenaikan tersebut.
Sisi Cerah: Ketika Kenaikan UMK Diimbangi Produktivitas
Namun, tidak semua efek kenaikan UMK bersifat negatif. Jika kebijakan ini diiringi dengan peningkatan produktivitas dan efisiensi, justru bisa menjadi pendorong ekonomi. Pekerja dengan penghasilan layak cenderung lebih termotivasi, lebih loyal, dan lebih produktif. Perusahaan pun bisa menyeimbangkan kenaikan biaya tenaga kerja dengan peningkatan output. “UMK bukan hanya soal menaikkan angka gaji, tapi bagaimana mendorong produktivitas,” demikian salah satu poin yang muncul dalam diskusi IDX Channel Insights.
Formula Baru Penentuan UMP: Antara Teori dan Realita
Menariknya, sejak diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2023, formula penentuan Upah Minimum Provinsi (UMP) kini lebih terukur. Perhitungan didasarkan pada tiga indikator utama: tingkat inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan koefisien Alfa angka yang menggambarkan kontribusi pekerja terhadap output ekonomi daerah.
Secara teori, formula ini dianggap adil. Inflasi digunakan agar pendapatan riil pekerja tidak menurun, pertumbuhan ekonomi menjamin keberlangsungan usaha, dan koefisien Alfa mencerminkan peran pekerja dalam perekonomian. Idealnya, dengan rumusan ini, setiap provinsi hanya memiliki satu usulan angka UMP.
Namun, kenyataannya tak sesederhana itu. Dewan pengupahan di beberapa daerah, seperti DKI Jakarta, justru mengajukan beberapa versi usulan UMP bahkan sampai tiga angka berbeda. Mengapa demikian?
Rasionalisasi Inflasi: Menyentuh Kebutuhan Nyata Pekerja
Persoalan muncul karena inflasi umum tidak selalu mencerminkan inflasi riil yang dirasakan pekerja. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi berdasarkan sekitar 400 jenis barang, padahal pekerja dengan pendapatan rendah umumnya hanya berbelanja untuk kebutuhan pokok. Sebagai contoh, inflasi umum di DKI Jakarta tahun 2024 tercatat hanya 1,89 persen, namun inflasi kelompok bahan makanan mencapai 4,04 persen.
Jika perhitungan UMP hanya menggunakan angka inflasi umum, maka upah yang ditetapkan terlalu rendah dan tidak mencerminkan kenyataan hidup di lapangan. Di sinilah letak ketegangan antara serikat pekerja dan pengusaha.
Koefisien Alfa: Angka yang Tak Semestinya Dinegosiasikan
Perbedaan lain sering muncul pada penentuan koefisien Alfa. Dalam sidang penetapan UMP DKI 2024, misalnya, pihak pengusaha menggunakan Alfa 0,2, sementara pemerintah memakai 0,3. Padahal, koefisien ini bukan angka tawar-menawar, melainkan hasil estimasi ilmiah tentang kontribusi pekerja terhadap ekonomi daerah.
Idealnya, penghitungan Alfa diserahkan kepada unsur akademisi yang independen dan objektif, agar tidak ada kepentingan yang menodai prosesnya. Dengan pendekatan ilmiah, nilai Alfa bisa lebih rasional dan diterima semua pihak.

Menemukan Titik Temu
Kebijakan upah minimum sesungguhnya adalah seni mencari keseimbangan antara keadilan sosial dan keberlanjutan ekonomi. Kenaikan upah harus memastikan kesejahteraan pekerja tanpa mematikan semangat investasi. Pengusaha butuh kepastian biaya, sementara pekerja butuh penghidupan layak.
Jika rasionalisasi inflasi diterapkan dan koefisien Alfa dihitung secara ilmiah, maka kesenjangan antara kedua kepentingan ini bisa dipersempit. Pada akhirnya, bukan sekadar angka yang penting, tetapi keadilan dan keberlanjutan di balik setiap keputusan kenaikan UMK/UMP.
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.