Gunungkidul TV – Kabut pagi masih menggantung di perbukitan Ngawen. Di sela-sela kebun yang menghijau, tampak beberapa petani memetik buah kopi berwarna merah ranum.

Tangan mereka cekatan, penuh rasa syukur. Di sinilah, di tanah kapur yang dulu dianggap tandus, aroma harapan kini tumbuh Kopi Gunungkidul.

Siapa sangka, tanah karst yang keras itu ternyata mampu melahirkan biji kopi dengan cita rasa lembut dan seimbang. “Awalnya kami menanam hanya untuk pelengkap di kebun,” tutur Sulaso, petani kopi dari Padukuhan Gunung Gambar, Kalurahan Kampung, Kapanewon Ngawen. “Tapi setelah dicoba diseduh, rasanya enak. Dari situ kami mulai serius belajar,“ tambahnya.

Belajar dari nol, para petani mulai membentuk kelompok tani, berguru pada barista dan pegiat kopi, hingga mengembangkan teknik pascapanen seperti full wash dan natural process. Dari cangkir demi cangkir, nama Kopi Gunung Gambar, Kopi Nglanggeran, hingga Kopi Patuk mulai dikenal di kalangan penikmat kopi lokal Yogyakarta. Namun, bagi mereka, kopi bukan sekadar komoditas. Ia adalah cerita. Cerita tentang tanah yang sabar, tangan yang tekun, dan gotong royong yang tak pernah padam. Tiap butir kopi yang mereka hasilkan mengandung jejak keringat, doa, dan cinta terhadap bumi Gunungkidul.

Festival demi festival digelar. Salah satunya Festival Kopi Gunung Gambar, yang rutin diadakan di kawasan wisata Gunung Gambar. Dalam suasana meriah, para petani, penyangrai, barista, dan wisatawan bertemu dalam satu meja, mencicipi berbagai racikan kopi lokal sambil bertukar kisah. “Kami ingin kopi menjadi simbol kebangkitan desa,” kata Sri Wahyuni, penggerak wisata Gunung Gambar. “Lewat kopi, kami belajar bahwa hal besar bisa tumbuh dari yang kecil, asal dirawat dengan cinta.”

Kini, Kopi Gunungkidul bukan lagi sekadar minuman. Ia telah menjelma menjadi identitas baru daerah wangi semerbak yang membawa nama Gunungkidul menembus batas. Dari lereng-lereng karst yang dulu sunyi, aroma harapan kini menyapa dunia. (Red)