
MENGEMBANGKAN JURNALISME INKLUSIF, MEDIA SEBAGAI MITRA PERUBAHAN SOSIAL LEWAT LENSA GEDSI
Gunungkidul TV – Di tengah dunia media yang semakin padat oleh informasi, muncul satu inisiatif penting yang tidak hanya menjernihkan ruang publik, tetapi juga memberi ruang bagi suara-suara yang kerap luput terdengar jurnalisme inklusif berperspektif GEDSI (Gender, Disabilitas, dan Inklusi Sosial).
Melalui webinar bertajuk Mengembangkan Jurnalisme Inklusif yang akan diselenggarakan oleh ‘Aisyiyah Pimpinan Pusat bersama mitra media, para jurnalis dari berbagai kalangan berkumpul secara daring untuk menyelami kembali esensi keberpihakan dalam kerja-kerja jurnalistik yakni berpihak pada keadilan dan kemanusiaan.
Sebuah Ikhtiar Menyemai Keadilan
Masih tingginya angka perkawinan anak, stunting, kanker serviks dan payudara, serta kekerasan terhadap perempuan dan penyandang disabilitas, mencerminkan bahwa banyak kelompok masyarakat yang belum mendapatkan ruang hidup yang adil. “Masalah ini bukan semata urusan medis atau sosial. Ini tentang cara kita memandang manusia secara utuh dan setara,” ujar Dr. Tri Hastuti Nur Rochimah, M.Si, Sekretaris Umum PP ‘Aisyiyah, yang memaparkan pentingnya perspektif GEDSI sebagai lensa dalam jurnalisme.
Menurutnya, pengarusutamaan GEDSI adalah jalan menuju kehidupan bermasyarakat yang lebih adil dan harmonis, sejalan dengan semangat Islam Berkemajuan dan komitmen global SDGs melalui prinsip No One Left Behind.
Media: Dari Cermin Realitas ke Agen Perubahan
Dalam sesi berikutnya, Niki Alma Febriana Fauzi, S.Th.I, M.Us, dari Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah menekankan bahwa Islam sebagai rahmat bagi semesta seharusnya tercermin dalam praktik media yang adil dan tidak bias gender. “Perspektif keislaman dan GEDSI tidaklah bertentangan. Justru keduanya saling menguatkan dalam mendorong transformasi sosial yang menghormati martabat manusia,” jelasnya.
Sementara itu, Sonya Hellen Sinombor, jurnalis senior Kompas, berbagi pengalaman lapangannya dalam membingkai realitas secara inklusif. Ia menyoroti pentingnya bahasa, narasi, dan cara pandang jurnalis dalam mengangkat isu-isu kelompok rentan. “Berhenti memosisikan perempuan dan penyandang disabilitas sebagai objek kasihan. Jadikan mereka subjek yang punya agensi,” tegasnya dalam sesi pelatihan menulis feature dan jurnalisme investigatif inklusif.
Bukan Sekadar Liputan, Tapi Perubahan
Kegiatan ini bukan sekadar forum diskusi. Ia menjadi ruang belajar dan refleksi kolektif bagi para jurnalis dari berbagai lini: dari tim media PP Muhammadiyah-Aisyiyah, wartawan media massa, hingga pengelola program inklusi. Bersama mereka menyusun langkah konkret untuk memasukkan nilai-nilai GEDSI dalam kerja redaksi, produksi berita, hingga cara menyapa pembaca.
Komitmen ini bukan basa-basi. Dari ruang Zoom yang hangat itu, lahir kesadaran baru: media bukan hanya cermin, tetapi lentera perubahan.
Catatan Redaksi:
Di era ketika suara kerap ditenggelamkan oleh gema dominan, jurnalisme inklusif bukanlah pilihan, melainkan keniscayaan. Inilah momen bagi media untuk melampaui sekadar mengejar viralitas, dan kembali kepada misinya: memberi suara bagi yang tak bersuara, menyentuh sisi manusia dari setiap berita, dan merajut keadilan lewat kata-kata.
Mari kita terus mendorong media yang bukan hanya informatif, tetapi juga mencerahkan dan menghibur sebagaimana semangat ‘Aisyiyah dan para jurnalis progresif yang mengusung GEDSI dalam setiap kalimat yang mereka tulis. (Red)