MERIAH DAN PENUH MAKNA, FESTIVAL KEBUDAYAAN YOGYAKARTA 2025 DITUTUP DENGAN RITUAL BUDAYA DAN PANGGUNG RAKYAT

Gunungkidul TV – Sore itu, angin berhembus pelan di Lapangan Logandeng, Plembon Kidul, Kapanewon Playen. Aroma tanah yang lembap bercampur dengan dupa dari Pawon Hajat Khasiat.

Di bawah langit yang beranjak jingga, para ibu, seniman, panitia, dan warga duduk bersila melantunkan doa dalam prosesi Nandur Donga, Ngrumat Kajat. Begitulah cara masyarakat Gunungkidul menutup Festival Kebudayaan Yogyakarta (FKY) 2025: dengan doa, dengan syukur, dan dengan cinta pada kebudayaan.

FKY 2025 yang telah berlangsung sejak 11 Oktober itu berakhir bukan sekadar dengan panggung dan tepuk tangan, tetapi dengan prosesi spiritual yang menyentuh akar tradisi. Usai doa bersama, sebatang pohon lo ditanam di lapangan melambangkan asal mula nama desa Logandeng, tempat pohon lo bergandengan. Sebuah simbol sederhana, namun sarat makna: kebersamaan yang mengakar, dan kebudayaan yang terus tumbuh bersama bumi tempatnya berpijak.

Penutupan dilanjutkan dengan penutupan pameran Gelaran Olah Rupa serta pertunjukan Wayang Beber oleh Mbah Waludeng menyatukan kembali seni visual dan tutur lisan dalam satu ruang rasa yang khas Yogyakarta.

Ritus Syukur dan Makna Kebersamaan

Kepala Dinas Kebudayaan DIY, Dian Lakshmi Pratiwi, menyampaikan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah berperan dalam perayaan budaya ini. Dalam sambutannya, ia menegaskan bahwa semangat gotong-royong menjadi roh utama FKY. “Kita berharap bahwa kebudayaan yang telah banyak dieksplorasi, diriset, dan dikembangkan dapat diteruskan dengan kesetiaan dan kesadaran penuh,” ujar Pratiwi dengan mata berbinar.

Dari sisi Pemerintah Daerah, Gubernur DIY yang diwakili oleh Aria Nugrahadi, menegaskan pentingnya menjaga akar budaya luhur sebagai sumber kedekatan emosional antargenerasi. “Semoga FKY menjadi ruang di mana kita semua dapat merasakan betapa kuatnya ikatan budaya kita,” tuturnya.

Dan benar, FKY tahun ini memang terasa istimewa. Di Gunungkidul, kebudayaan bukan hanya dipamerkan, tapi dihidupi.

Mindhang Pasar Kawak: Mengembalikan Janji, Menyempurnakan Pekerjaan

Sebagai penanda resmi penutupan, digelar Ritual Mindhang Pasar Kawak upacara adat yang bermakna ngluwari nadar (memenuhi janji) dan ngrampungi pakaryan (menyelesaikan pekerjaan). Ritual ini terinspirasi dari kisah warga Dusun Seneng, Kalurahan Siraman, Kapanewon Wonosari, saat Ki Rangga Puspawilaga membangun pasar di masa lampau.

Di hadapan sesaji gula setangkep dan kembang boreh, masyarakat memanjatkan doa.

Gula setangkep menjadi simbol penyatuan lahir batin, sementara kembang boreh dimaknai sebagai tolak bala penawar letih dan kesedihan setelah sepekan penuh kegiatan budaya. Sebuah ritus sederhana, namun menyimpan kedalaman spiritual khas masyarakat agraris yang akrab dengan alam dan keseharian.

Dampak dan Warisan FKY 2025

Direktur FKY 2025, B.M. Anggana, dalam laporannya menyampaikan hasil kerja kolektif yang membanggakan. FKY 2025 mencatat dampak ekonomi mencapai Rp460 juta lebih, dengan keterlibatan 2.587 pelaku seni dan budaya, serta 72.644 pengunjung selama delapan hari penyelenggaraan.

Dari sisi digital, konten FKY menjangkau jutaan penonton di berbagai platform bahkan hingga ke luar negeri seperti Swedia, Belanda, Amerika, Thailand, dan Tiongkok. Namun di balik angka-angka itu, Anggana menutup dengan refleksi yang lembut “Yang memelihara kebudayaan bukanlah kekuasaan, melainkan kasih sayang yang tumbuh di antara warganya. Semoga FKY akan terus hidup bukan karena dilindungi, tapi karena dirawat; bukan karena diperintah, tapi karena dicintai.”

Panggung Rakyat dan Warisan Budaya yang Terus Hidup

Menjelang malam, Panggung FKY di Logandeng menjadi ruang ekspresi rakyat. Orkes Keroncong Lintang Kanistha, Sigit Nurwanto, Sanggar Seni Rawikara Nari Bahuwana, Jumat Gombrong, hingga FSTVLST menutup perhelatan dengan nuansa riang sekaligus haru.

Sementara di antara lampu-lampu panggung, warga masih bercengkerama, anak-anak berlarian, dan aroma kopi dari lapak UMKM tetap menguar seolah tak ingin perayaan ini berakhir.

Dari Gunungkidul untuk Yogyakarta dan Dunia

Setelah mengusung tema pangan di Kulon Progo (2023), benda di Bantul (2024), dan adat istiadat di Gunungkidul (2025), tahun depan Kabupaten Sleman akan menjadi tuan rumah FKY 2026. Tema besar FKY 2025, Adoh Ratu, Cedhak Watu, menggambarkan karakter masyarakat Gunungkidul: jauh dari pusat kekuasaan, namun justru dekat dengan akar kehidupan dan kebijaksanaan lokal.

Sebuah etos yang mengajarkan bahwa jarak bukanlah halangan untuk tumbuh justru sumber kekuatan untuk berdiri tegak di tengah perubahan zaman. Dan sore itu, di Logandeng, Gunungkidul menutup FKY 2025 dengan cara yang paling indah: menanam doa, merawat kebudayaan, dan meneguhkan cinta pada tanah kelahirannya. (Red)

__Terbit pada
Oktober 19, 2025
__Kategori
News