POSBAKUM ‘AISYIYAH DIPERKUAT, FOKUS AKREDITASI DAN AKSES KEADILAN BAGI KELOMPOK RENTAN

Gunungkidul TV – Di balik layar ruang-ruang pengadilan dan cerita panjang tentang akses keadilan, ada kerja sunyi yang terus dirajut, Ahad (28/12/2025), benang-benang itu kembali disimpulkan dalam sebuah ruang virtual yang mempertemukan lebih dari 170 pegiat hukum dari berbagai penjuru Indonesia.

Mereka adalah pengelola Pos Bantuan Hukum (Posbakum) ‘Aisyiyah, berkumpul dalam agenda Penguatan Kelembagaan Posbakum ‘Aisyiyah sebuah ikhtiar kolektif untuk memastikan keadilan benar-benar dapat disentuh oleh mereka yang paling membutuhkan.

Kegiatan yang digagas Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah bersama Program Inklusi ‘Aisyiyah ini bukan sekadar forum diskusi. Ia menjadi ruang refleksi, konsolidasi, sekaligus peneguhan komitmen bahwa dakwah kemanusiaan tidak berhenti pada wacana, tetapi hadir dalam layanan hukum yang profesional, inklusif, dan berkelanjutan.

Posbakum sebagai Amal Usaha Strategis

Ketua Majelis Hukum dan HAM PP ‘Aisyiyah, Henni Wijayanti, membuka perbincangan dengan satu penegasan penting: Posbakum ‘Aisyiyah bukanlah unit pelengkap, melainkan amal usaha strategis persyarikatan. Di dalamnya bertaut misi keadilan sosial, nilai kemanusiaan, dan ruh dakwah Islam yang membebaskan. “Posbakum ‘Aisyiyah tidak hanya menghadirkan layanan hukum, tetapi juga mencerminkan nilai keadilan sosial dan dakwah kemanusiaan,” ujarnya.

Data yang disampaikan Henni menunjukkan geliat nyata. Hingga kini, ‘Aisyiyah telah memiliki 110 Posbakum yang tersebar di berbagai daerah, dengan sembilan di antaranya telah terakreditasi Kementerian Hukum Republik Indonesia. Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan penanda tumbuhnya kesadaran kolektif bahwa akses keadilan harus diperjuangkan secara sistematis. Namun, seiring pertumbuhan itu, tantangan pun kian kompleks. Regulasi yang dinamis, tuntutan profesionalitas, hingga persyaratan akreditasi menjadi pekerjaan rumah yang tak bisa dihindari. Karena itu, Henni menekankan bahwa akreditasi bukan sekadar urusan administratif. “Akreditasi adalah instrumen penjamin mutu layanan, akuntabilitas, dan keberlanjutan Posbakum ‘Aisyiyah agar mampu memberikan pelayanan hukum yang profesional, transparan, dan berintegritas,” tegasnya.

GEDSI: Perspektif yang Menentukan Arah Keadilan

Lebih jauh, Henni menyoroti satu perspektif kunci yang harus menjadi jiwa seluruh kerja pendampingan hukum, yakni Gender, Disability, and Social Inclusion (GEDSI). Menurutnya, tanpa perspektif ini, layanan bantuan hukum berisiko kembali meminggirkan mereka yang seharusnya dilindungi.

Dalam praktik di lapangan, ketimpangan masih kerap terjadi. Perempuan terhambat mengakses keadilan karena relasi kuasa dan ketergantungan ekonomi. Penyandang disabilitas berhadapan dengan sistem hukum yang belum ramah. Kelompok miskin dan marginal terjegal jarak, biaya, dan rendahnya literasi hukum. “Isu GEDSI menjadi perspektif utama yang menentukan apakah layanan bantuan hukum benar-benar adil dan inklusif,” ujar Henni. Posbakum, lanjutnya, harus peka terhadap realitas ini agar keadilan tidak hanya menjadi jargon, tetapi pengalaman nyata bagi semua lapisan masyarakat.

Amanah Muktamar dan Tata Kelola yang Bermartabat

Nada yang sama ditegaskan Ketua PP ‘Aisyiyah sekaligus Koordinator Bidang Hukum, Masyitoh Chusnan. Ia mengingatkan bahwa Posbakum ‘Aisyiyah merupakan satu-satunya amal usaha Majelis Hukum dan HAM dan lahir dari amanah Muktamar. “Posbakum tidak bisa hanya sekadar berdiri, tetapi harus menunjukkan kualitasnya,” tegasnya.

Masyitoh menggarisbawahi pentingnya tata kelola organisasi yang sehat mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengendalian, hingga evaluasi. Tanpa manajemen yang baik, bantuan hukum justru berpotensi membawa mudarat, bukan maslahat.

Ia berharap semangat pendirian Posbakum terus meluas ke seluruh wilayah Indonesia, namun dengan catatan: berdiri dengan ilmu, memenuhi syarat, dan berpegang pada standar yang ditetapkan Kemenkumham serta persyarikatan.

Membongkar Sekat Identitas

Perspektif GEDSI kembali diperdalam oleh Tri Hastuti Nur Rochimah, Sekretaris Umum PP ‘Aisyiyah sekaligus Koordinator Program INKLUSI. Menurutnya, memahami GEDSI berarti menyadari bahwa Indonesia dibangun di atas keragaman identitas dan pengalaman hidup yang berlapis. “Seseorang bisa mengalami diskriminasi berlapis perempuan, miskin, kepala keluarga, sekaligus penyandang disabilitas,” jelasnya.

Karena itu, kehadiran Posbakum ‘Aisyiyah harus mampu membongkar sekat-sekat identitas tersebut sebagai wujud dakwah kemanusiaan rahmatan lil ‘alamin. Layanan hukum, kata Tri, harus hadir untuk semua, tanpa kecuali.

Menuju Posbakum yang Kokoh dan Terakreditasi

Penguatan kelembagaan juga diperkaya dengan pemaparan teknis. Siti Kasiyati menekankan pentingnya tata kelola Posbakum yang berlandaskan visi dakwah amar ma’ruf nahi munkar amanah, profesional, dan berkeadilan. Sementara Arovah Windiani menjelaskan posisi Posbakum ‘Aisyiyah dalam sistem bantuan hukum nasional yang memiliki dasar ideologis dan yuridis kuat, sejalan dengan UU Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum.

Agenda akreditasi menjadi penutup rangkaian penguatan. Nevey Varida Ariani memaparkan bahwa akreditasi adalah pintu menuju kemitraan strategis dengan negara, sekaligus jaminan mutu layanan. Melalui asesmen mandiri, penguatan SDM, dan kolaborasi lintas pihak, Posbakum ‘Aisyiyah diharapkan semakin siap melangkah.

Merajut Keadilan, Menyapa yang Terpinggirkan

Webinar ini bukan akhir, melainkan penanda perjalanan panjang. ‘Aisyiyah, melalui Posbakum, terus merajut keadilan menyapa perempuan, anak, penyandang disabilitas, dan kelompok rentan dengan layanan hukum yang manusiawi dan bermartabat.

Di ruang-ruang sunyi itulah, dakwah kemanusiaan menemukan maknanya: ketika hukum tidak lagi terasa jauh, tetapi hadir sebagai pelukan keadilan bagi semua. (Red)

__Terbit pada
Desember 29, 2025
__Kategori
News