
SAPTA KARYA PARIWISATA GAGASAN INDEPENDEN PEDOMAN DAN STRATEGI PENGEMBANGAN KEPARIWISATAAN INDONESIA
Gunungkidul TV – Sebagai individu yang penuh dengan keterbatasan, tentu penulis bersyukur karena telah diberiNya rahmat kesehatan dan waktu untuk melakukan Tri Dharma Perguruan Tinggi yang antara lain kegiatannya adalah melakukan pengabdian masyarakat dan pendampingan sebagai bagian dari turut serta membangun kepariwisataan yang berkelanjutan.
Pariwisata yang diharapkan tentu pariwisata yang dapat mensejahterakan masyarakat dengan segala permasalahan dan kendala yang tentu menjadi tantangan tersendiri. Untuk itu di tengah tantangan ini, sejak 2019 penulis mencoba menghadirkan konsep atau gagasan indenpenden berbasis experience di lapangan dibidang pariwisata yang penulis berikan judul atau nama SAPTA KARYA PARIWISATA INDONESIA. Konsep ini diharapkan akan menjadi pedoman bagi masyarakat dalam mengelola pariwisata.
Adapun isi dari Sapta Karya Pariwisata Indonesia adalah sebagai berikut, yang pertama Pariwisata Berbudaya pandangan penulis konsep hadir untuk memayungi semua aktivitas kepariwisataan, kalimat sederhananya adalah bahwa roh dari pariwisata itu sendiri ada pada budaya. Keduanya Pariwisata Bermufakat; pariwisata yang berkembang atau yang akan dikembangkan di masyarakat harus didahului dengan budaya bermusyawarah untuk bermufakat, jika tidak maka justru kehadiran pariwisata akan menjadi bumerang atau menimbulkan kecemburuan sosial bagi masyarakat (Betha, 2019).
Ketiganya adalah pariwisata berintegritas; dalam kontesk pariwisata intergritas bermakna pariwisata yang dikelola secara jujur, transparan dan konsisten, baik oleh para pemodal/pemilik, pekerja dan pihak pemerintah. Dalam konteks ini juga kejujuran dalam mengelola informasi, promosi, transparansi dalam harga dan kebijakan, termasuk konsentrasi dalam memberi pelayanan kepada masyarakat pengguna jasa pariwisata.
Berikutnya keempat adalah Sapta Karya Pariwisata Indonesia yang berikutnya adalah Pariwisata Bergotongroyong hadirnya konsep ini adalah untuk mewariskan nilai-nilai etos kerja yang masih relevan saat ini, mesikpun hanya berbeda istilah saja. Dalam konteks modern atau kekinian tentu gotongroyong mempunyai istilah mampu bekerjasama yang diterjemahkan team work yang akan bisa menopang manajemen karena ada kemampuan untuk bekerja sama, karena tanpa kerja sama keberhasilan sulit untuk diwujudkan. Memprogram kegiatan untuk mencapai kesuksesan yang bernafaskan budaya gotongroyong juga bisa dilakukan dengan sistem Penta Helix.
Kemudian kelima adalah konsep yang penulis tawarkan adalah konsep Pariwisata Berkeadilan; kalau merujuk pengelolaan pariwisata berbasis CBT (Community Base Tourism), jangan lupa pariwisata juga harus dikelola secara adil dan proporsional, beberapa tempat hadirnya pariwisata gagal dan bahkan menuai keributan karena adanya unsur ketidakadilan. Konsep keadilan ini tentu juga harus diatur dengan regulasi yang jelas sehingga secara otomatis akan bisa memberikan rasa adil bagi masyarakat. Keadilan ini contohnya adalah dalam pengembangan parwisata jadikan masyarakat sebagai subyek, justru sebaliknya jangan jadikan masyarakat sebagai obyek, bahkan jangan sampai kehadiran pariwisata hanya akan menguntungkan pihak-pihak tertentu. Termasuk keadilan dalam konteks ini adalah bertanggung jawab dengan lingkungan.
Selanjutnya yang ke-6, Pariwista Berkualitas; jika ingin jasa pariwisata dijual mahal dan menguntungkan, maka harus ada harga yang harus dibayar, yakni menyiapkan SDM yang mumpuni dan professional dengan cara mengadakan pelatihan, menempa atau mendidik SDM dibidang pariwisata melalui lembaga formal (Perguruan Tinggi, Sekolah Kejuruan) dan melakukan study sharing untuk mendapatkan pengelaman atau bertukar pikiran melalui berbagai bentuk kerjasama dan dapat memajukan pariwasata yang berkelas dan berkualitas. Jika pariwisata dikelola dengan berkualitas, maka wisatawan yang datangpun juga berkelas dan berkualitas.
Sapta Karya Pariwisata Indonesia yang ke-7 (terakhir) adalah Pariwisata Berkelanjutan; kendatipun pariwisata bukan satu-satunya penghasil devisa negara terbesar (hanya urutan ke-3) setelah ekspor komoditi, remittance atau pekerja migran Indonesia, namun keberlanjutan bidang pariwisata ini menjadi dambaan masyarakat karena dapat menyerap tenaga kerja hampir 24, 4 juta tenaga kerja atau sekitar 17,45% dari total tenaga kerja Indonesia (2023-rricoid).
Kendatipun dalam keterbatasan pendanaan, beberapa tempat di Bali dan di luar Bali, konsep ini telah penulis sharing-kan dan diaplikasikan berdasarkan pengamatan ke lapangan yang penulis lakukan, antara lain di obyek wisata Taman Wisata Gerih-Bali (berdasarkan studi kasus-2019), obyek wisata Lahangan Sweet-Bali(pendampingan-2023) dan Lahangan Hill Bali-studi kasus (2019), obyek wisata Giri Nadi View-Bali, pendampingan (2023), Desa Wisata Bugisan, Klaten Jawa Tengah (2023-2024), Destinasi Wisata Pantai Krakal (riset-2024-sekarang), areal Mai Land Gunungkidul-Pendampingan (2023-sekarang), the Ariras Hotel, Virgin Beach, Karangasem Bali (2025).
Semoga kehadiran konsep ini akan bisa membangun inovasi, motivasi kepariwisataan Indonesia, yang tentu konsep ini bukanlah sebuah konsep yang kaku, namun bersifat flexible dan siap untuk dilakukan sharing, bedah ide, apapun namanya, penulis sangat terbuka untuk penyempurnaannya.
Ditulis oleh: I Nengah Rata Artana, M.Sn Dosen Universitas Dhyana Pura (Undhira-Bali).
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.