SEJARAH GUNUNG TUTUP PONJONG GUNUNGKIDUL JEJAK LELUHUR, NAPAK TILAS PEJUANG, DAN WISATA SPIRITUAL DI UJUNG BARAT GEDAREN
Gunungkidul TV – Gunung Tutup, sebuah bukit yang berdiri senyap di ujung barat Padukuhan Gedaren, Kalurahan Sumbergiri, Kapanewon Ponjong, Gunungkidul, menyimpan kisah panjang yang tak sekadar soal batu, tanah, dan pepohonan.
Di sekelilingnya berjajar bukit-bukit lain Gunung Gatak, Genjor, Watulapak, Asem, hingga Regol yang seakan menjadi pagar alami kawasan ini. Di bawah lereng-lereng bukit tersebut mengalir mata air yang tidak pernah kering, bahkan di musim kemarau paling panjang. Air inilah yang menghidupi hamparan sawah Bulak Gedaren, membuat kawasan ini tetap subur dari generasi ke generasi.
Namun Gunung Tutup memiliki satu keistimewaan yang membuatnya berbeda dari bukit mana pun di sekitarnya: sebuah makam kuno yang berada tepat di puncak. Makam itu bukan makam orang sembarangan. Dari berbagai cerita tutur dan catatan trah, diketahui bahwa sosok yang dimakamkan di sana adalah Raden Mangun Kusuma I, seorang pejabat Mangkunegaran yang dipercaya sebagai Bupati pertama Pathi (Ponjong) di era berdirinya Kadipaten Mangkunegaran (1757).
Jejak Pemerintahan Pathi di Ponjong
Pada masa awal Mangkunegaran, wilayah kekuasaan kadipaten ini cukup luas. Meliputi Keduwang, Honggobayan, Sembuyan, Matesih, Pajang utara, Kedu, hingga sebagian Gunungkidul. Ponjong atau Pathi sebagaimana dahulu disebut, menjadi salah satu titik strategis yang dipimpin oleh pejabat kiriman dari Mangkunegaran. Jejaknya hingga kini masih tampak, salah satunya Bilik Krapyak di area Masjid Sulthon yang menjadi tempat MCK keluarga Mangun Kusuma tempo dulu. Ketika Mangun Kusuma I wafat, beliau dimakamkan di bukit yang paling dekat dengan pusat pemerintahan Pathi: Gunung Tutup.
Kepemimpinan kemudian diteruskan oleh putranya, Mangun Kusuma II, yang akhirnya gugur dalam pertempuran di Kertasura. Keluarga ini kemudian menetap di Semanu, meninggalkan makam leluhur yang perlahan menjadi terlantar dan ditinggalkan. Seiring waktu, Gunung Tutup berubah menjadi tempat angker yang tak berani didatangi siapa pun. Pepohonan tumbuh lebat, rimbun, menutup seluruh permukaan bukit dari sinilah nama Gunung Tutup berasal.
Penemuan Makam Setelah Lebih dari Seratus Tahun
Sekitar tahun 1930-1940’an seorang keturunan Mangun Kusuma, Nyai Haji Abdul Syukur, mendapat ilham dalam mimpi bahwa makam leluhurnya berada di puncak sebuah bukit. Ia meminta bantuan saudaranya, Kromo Pawira yang saat itu menjabat Lurah Genjahan, untuk mencari lokasi makam tersebut. Pencarian panjang pun dilakukan hingga akhirnya makam Eyang Mangun Kusuma ditemukan kembali di puncak Gunung Tutup.
Pada waktu yang sama, keturunan Mangun Kusuma dari berbagai daerah di Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta, Wonogiri, hingga Solo juga sedang mencari makam leluhur mereka. Pertemuan ini kemudian melahirkan Perdana (Perkumpulan Darah Narakasura) yang merintis pembangunan kompleks makam pada 4 Agustus 1956 dan meresmikannya pada 18 Agustus 1956.
Meski dibangun, stigma angker Gunung Tutup belum hilang. Hanya segelintir warga yang berani naik, salah satunya adalah Mbah Karsomo, juru kunci pertama yang merawat makam secara sukarela.
Sukino Suprobo: Sang Pembangun Gunung Tutup
Perubahan besar Gunung Tutup dimulai ketika Sukino Suprobo, keturunan Mangun Kusuma, kembali ke kampung halaman setelah berhenti dari dinas kemiliteran akibat malaria pada 1947. Latar belakangnya sebagai anggota PETA dan pasukan pengawal Presiden Soekarno membuatnya dikenal sebagai sosok disiplin, keras, namun penuh spiritualitas.
Setelah bertahun-tahun bertapa dan menggeluti ilmu sangkan paraning dumadi, Sukino mendapatkan ilham untuk membangun kembali Gunung Tutup. Walau penampilannya eksentrik berambut panjang, tajam tatapan, dan berwibawa layaknya prajurit ia tetap dikenal sebagai sosok dermawan, penentang perjudian, sekaligus tempat meminta nasihat bagi banyak orang, mulai dari masyarakat biasa hingga pejabat tinggi.
Didukung masyarakat secara swadaya, Sukino mengubah Gunung Tutup menjadi kompleks spiritual dengan beragam bangunan penuh simbol sejarah, filsafat Jawa, serta nilai-nilai patriotisme.
Simbol dan Filosofi di Gunung Tutup
Hampir semua bangunan di Gunung Tutup memiliki makna. Beberapa di antaranya:
Stupa-Stupa Bersejarah
- Gambaran Kerajaan Surakarta Hadiningrat.
- Stupa Candi Penataran.
- Stupa Pamuksan Sri Aji Jayabaya.
Ajaran Filsafat Jawa
- Sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti (Segala kekuatan jahat akan luluh oleh kelembutan dan kebaikan.)
- Tri Dharma (berbuat baik, ikut memiliki dan menjaga, berani introspeksi diri)
- Kutipan ramalan Jayabaya tentang kefanaan hidup manusia.
Relief dan Jejak Kemerdekaan
Relief Ramayana, Arjuna Wiwaha, hingga dokumentasi perjalanan spiritual Arjuna, serta tangga berjumlah 17–8–45 sebagai simbol kemerdekaan Indonesia. Puncak gunung dibentuk menyerupai kapal sebagai simbol Perjanjian Renville 1948.
Joglo Sejarah Perjuangan
Joglo yang kini berdiri di Gunung Tutup merupakan bangunan berusia hampir seabad. Dulunya balai kelurahan, kemudian sekolah, dan akhirnya dibawa ke Gunung Tutup pada 1971.
Pohon Beringin
- Ditancapkan sebagai simbol pengayoman, keteduhan, sekaligus penjaga kelestarian air tanah.
- Gunung Sari Giri: Tempat Tirakat dan Wisata Spiritual
Seiring berkembangnya kawasan ini, Sukino Suprobo mengganti nama Gunung Tutup menjadi Gunung Sari Giri, yang berarti “gunung utama di Sumbergiri”. Pengunjung yang datang ke sini umumnya bukan untuk berwisata biasa, melainkan untuk mencari ketenangan, melakukan tirakat, atau sekadar mencari kedamaian batin.
Udara yang sejuk, pepohonan besar, serta suasana hening membuat pengunjung merasa berada di ruang yang berbeda ruang yang menawarkan perenungan dan kedekatan dengan Yang Maha Kuasa. (Red)


