
TAPAK SUCI GUNUNGKIDUL, EMPAT DEKADE MENJAGA WARISAN SILAT DAN AKHLAK DI BUMI HANDAYANI
Gunungkidul TV – Di tengah hiruk pikuk perkembangan seni bela diri di tanah air, ada satu kisah yang mengalir tenang namun kuat, menembus lintasan waktu dan mengakar dalam jiwa masyarakat Gunungkidul yakni Tapak Suci. Bukan sekadar perguruan silat, melainkan warisan nilai, iman, dan akhlak yang berpadu dengan teknik beladiri yang mumpuni.
Di Kabupaten Gunungkidul, Tapak Suci mulai menorehkan sejarahnya pada tahun 1980. Ide besarnya lahir dari sosok-sosok visioner seperti Bapak Iskanto, Bapak Daldiri (alm.), dan Bapak Wagiran (alm) yang kala itu menjabat Ketua PDM Gunungkidul. Saat organisasi otonom Muhammadiyah lain seperti Pemuda Muhammadiyah dan Hizbul Wathan telah aktif, mereka merasa sudah saatnya seni bela diri khas Muhammadiyah ini hadir di bumi Handayani.
Tak tanggung-tanggung, para perintis Tapak Suci Gunungkidul kala itu dibina langsung oleh pelatih dari Yogyakarta. Pendekar utama masih dipegang Bapak Barie Irsyad, sementara pelatih di Gunungkidul diantaranya Bapak Suharto (alm), Bapak Saiful (alm.), Bapak Ilham, Bapak Rohmadi, Bapak Muh Wafid, dan Ibu Diyah. Dari tangan-tangan inilah lahir para pelatih lokal yang kelak menjadi tonggak perkembangan Tapak Suci di daerah.
Dari Sekolah ke Kecamatan
Latihan perdana dibuka di SMA Muhammadiyah Wonosari (kini SMA Muhammadiyah Al Mujahidin), kemudian merambah ke SMP Muhammadiyah Wonosari, SPG Muhammadiyah Wonosari (sekarang SMK Muhammadiyah Wonosari), serta di kantor-kantor kecamatan seperti Playen, Ponjong, Semanu, dan Nglipar.
Susunan kepengurusan awal pun terbentuk: Bapak Daldiri sebagai ketua, Bapak Yulianto sebagai sekretaris, Bapak Yudan sebagai bendahara, dengan pembina dan penanggung jawab dari jajaran tokoh Muhammadiyah setempat. Menariknya, dua murid angkatan pertama, Bapak Abdul Hamid R dari Paliyan dan Bapak Sutardi dari Ponjong, masih aktif hingga kini, menjadi saksi hidup perjalanan panjang Tapak Suci di Gunungkidul.
Menjadi Pelopor di IPSI Gunungkidul
Tahun 1985, sejarah baru tercipta. Tapak Suci menjadi salah satu pendiri Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI) Gunungkidul, berdampingan dengan empat perguruan lain: Krisnamurti, POPSI, ABA, dan Suci Hati. Pertemuan bersejarah itu difasilitasi KONI Gunungkidul dan berlangsung di Hargososro.
Di masa-masa awal, pertandingan pencak silat hanya mempertandingkan nomor tanding, belum ada kategori seni. Meski begitu, prestasi telah diukir. Tapak Suci bersama perguruan lain membawa pulang tiga medali dari ajang di Gedung Amongrogo Yogyakarta. Sosok Bapak Sumari bahkan menorehkan prestasi gemilang di Kejurwil DIY 1981 dengan medali perak, dan juara satu Kelas A di ajang IPSI DIY.
Akar yang Menjalar dari Banjarnegara ke Kauman
Namun kisah Tapak Suci tak bisa dilepaskan dari akar sejarahnya yang panjang. Ia bermula dari Banjarnegara, Jawa Tengah, lewat aliran Banjaran yang dikembangkan oleh KH. Busyro Syuhada seorang ulama sekaligus pendekar yang perjalanan hidupnya berliku, dari tanah Jawa hingga Tanah Suci.
Pada 1920-an, Yogyakarta menjadi panggung pertemuan bersejarah. Di Kauman, KH. Busyro bertemu dua kakak beradik, A. Dimyati dan M. Wahib, yang kemudian mendirikan Perguruan Cikauman pada 1925. Dari sini, lahir perguruan-perguruan seperti Seranoman dan Kasegu, sebelum akhirnya disatukan secara resmi pada 31 Juli 1963 menjadi Tapak Suci oleh Moh. Barie Irsyad dkk., dengan Djarnawi Hadikusumo sebagai Ketua Umum pertama.
Tapak Suci pun mengusung motto yang hingga kini menjadi pegangan setiap pendekarnya: Dengan Iman dan Akhlak Saya Menjadi Kuat, Tanpa Iman dan Akhlak Saya Menjadi Lemah.
Lebih dari Sekadar Bela Diri
Di Kabupaten Gunungkidul, Tapak Suci bukan hanya tempat berlatih jurus, tendangan, atau strategi bertanding. Ia adalah ruang untuk membentuk pribadi tangguh, berkarakter, dan berakhlak mulia. Dari gedung sekolah sederhana hingga arena pertandingan nasional, semangat itu tetap menyala dari generasi ke generasi.
Kini, lebih dari empat dekade sejak langkah pertamanya di bumi Handayani, Tapak Suci Gunungkidul tetap tegak, mengayunkan jurusnya bukan untuk menjatuhkan, tetapi untuk mengangkat martabat, menjaga warisan, dan menginspirasi. (Red)
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.