THIWUL DAN GATHOT KULINER KHAS GUNUNGKIDUL YANG SARAT SEJARAH DAN RASA BUDAYA

Gunungkidul TV – Di tengah geliat kuliner kekinian yang terus bermunculan, Gunungkidul tetap memegang erat identitasnya melalui dua makanan tradisional yang legendaris: Thiwul dan Gathot. Bagi masyarakat Gunungkidul, kedua panganan ini bukan hanya soal rasa, tetapi juga kisah hidup, ketahanan, dan kearifan lokal yang telah diwariskan lintas generasi.

Dari Singkong Menjadi Sajian Bermakna

Thiwul dan Gathot berasal dari bahan yang sama: singkong. Namun keduanya memiliki proses, bentuk, rasa, dan makna yang berbeda. Dalam sejarahnya, thiwul dikenal sebagai makanan alternatif pengganti nasi yang muncul pada masa sulit, seperti zaman penjajahan dan paceklik. Konon, thiwul mulai dikenal luas sejak era Kerajaan Majapahit (1293–1520 M) dan populer di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta khususnya di Gunungkidul dan di Jawa Tengah.

Sementara itu, gathot punya cerita yang tak kalah menarik. Terbuat dari singkong yang dibiarkan menghitam karena proses fermentasi alami, gathot menunjukkan bagaimana masyarakat dahulu tak membuang bahan makanan, bahkan mengolah yang gagal panen menjadi santapan nikmat.

Jejak awalnya ditelusuri ke masa Kerajaan Mataram (1587–1755 M). Keduanya kemudian berkembang dan mengakar kuat di tanah Gunungkidul, menjadi bagian tak terpisahkan dari keseharian maupun perayaan adat masyarakat setempat.

Cita Rasa yang Tak Lekang Waktu

Thiwul menawarkan tekstur lembut dengan perpaduan rasa manis dan gurih. Biasanya disajikan hangat dengan taburan kelapa parut dan guyuran gula jawa cair. Aroma dan tampilannya mungkin sederhana, tetapi bagi warga Gunungkidul, inilah rasa rumah yang sesungguhnya.

Sebaliknya, Gathot menghadirkan sensasi kenyal dan legit, terkadang sedikit asam tergantung proses fermentasinya. Ia sering disantap sebagai kudapan sore atau pelengkap saat minum teh. Meski sederhana, gathot menyimpan karakter yang kuat rasa sabar dan telaten dari proses pembuatannya.

Lebih dari Makanan, Ini Adalah Warisan Budaya

Bukan tanpa alasan keduanya dianggap lebih dari sekadar makanan. Thiwul mencerminkan kesederhanaan, kebersamaan, dan rasa syukur – sebuah simbol dari kehidupan desa yang rukun dan saling berbagi. Sementara Gathot mengajarkan ketekunan, keuletan, dan kreativitas dalam mengolah apa yang tersedia.

Dalam dunia kuliner, makanan yang mengandung nilai filosofis seperti ini dikategorikan sebagai kuliner gastronomi. Tak hanya tentang rasa, tetapi juga tentang cerita, nilai, dan teknik memasak yang diwariskan turun-temurun.

Perspektif Gastronomi: Ketika Tradisi Jadi Inspirasi

Ahli gastronomi dan penulis kuliner Indonesia, Yu Tum, pernah mengangkat Thiwul dan Gathot sebagai contoh nyata bagaimana makanan tradisional bisa berdiri sejajar dengan kuliner kelas dunia. Ia menekankan bahwa bahan-bahan alami, teknik memasak tradisional yang sabar dan teliti, penyajian yang menggugah selera, serta makna budaya yang dalam adalah unsur-unsur penting dalam sebuah sajian gastronomi.

Menurutnya, Thiwul dan Gathot adalah cermin dari karakter masyarakat Jawa – sederhana tapi bernilai tinggi, tenang namun kuat, dan selalu dekat dengan alam.

Dari Dapur Desa ke Meja Dunia

Kini, Thiwul dan Gathot tak lagi hanya hadir di dapur-dapur rumah warga desa. Banyak pelaku UMKM Gunungkidul memproduksi keduanya dalam bentuk kemasan modern tanpa kehilangan rasa aslinya. Mereka telah menjadi oleh-oleh khas yang banyak diburu wisatawan, sekaligus menjadi alat diplomasi budaya kuliner lokal.

Gunungkidul tak hanya menyuguhkan keindahan alam, tetapi juga kelezatan rasa dari masa lalu yang tak pernah usang. Thiwul dan Gathot adalah bukti bahwa makanan bisa menyimpan sejarah, menyampaikan pesan, dan menyatukan generasi. (Red)

Ditulis oleh: Immawan Muhammad Arif (founder Gunungkidul TV) dengan disarikan berbagai sumber.

__Terbit pada
Desember 23, 2024
__Kategori
Ragam