
BACA SHADAQALLAHUL ‘AZHIIM SETELAH BACA AL QURAN, ANTARA KEBIASAAN DAN KETENTUAN SYARIAT
Gunungkidul TV – Sudah menjadi pemandangan umum dalam kehidupan keagamaan umat Islam di Indonesia bahwa setiap kali seseorang mengakhiri bacaan Al-Qur’an, maka ia menutupnya dengan ucapan shadaqallahul ‘azhiim (صدق الله العظيم), yang berarti “Maha Benar Allah Yang Maha Agung.”
Kalimat ini dilafalkan dengan khidmat dan bahkan seolah menjadi bagian tak terpisahkan dari ritual tilawah Al-Qur’an. Namun, pertanyaannya: apakah memang ada tuntunan syar’i untuk membaca kalimat ini setiap kali selesai membaca Al-Qur’an?
Merujuk kepada penjelasan dalam Buku Tanya Jawab Agama Jilid I halaman 16, persoalan ini patut ditinjau dari sudut dalil yang mendasari, serta konteks ayat yang sering dijadikan rujukan. Banyak orang yang mendasarkan kebiasaan membaca shadaqallahul ‘azhiim pada firman Allah dalam Surat Ali Imran ayat 95: “Qul shadaqallah…” (Katakanlah: Benar [apa yang difirmankan] Allah).
Namun, jika ayat ini ditelaah dengan cermat dalam konteks turunnya dan hubungan antar ayat (munasabah), maka dapat disimpulkan bahwa ayat tersebut bukanlah perintah untuk selalu membaca kalimat “shadaqallahul ‘azhiim” di akhir setiap bacaan Al-Qur’an. Ayat itu merupakan bantahan terhadap klaim kaum Yahudi yang menuduh Nabi Muhammad SAW menyimpang dari ajaran Nabi Ibrahim, khususnya dalam soal makanan halal dan pengalihan kiblat. Artinya, perintah “Qul shadaqallah” dalam ayat itu adalah bagian dari konteks argumentatif terhadap pihak yang mengingkari kebenaran risalah Nabi.
Dengan demikian, menjadikan ayat ini sebagai dalil untuk membaca “shadaqallahul ‘azhiim” setiap kali selesai membaca Al-Qur’an tidaklah tepat secara syar’i. Tidak ada riwayat atau tuntunan dari Rasulullah SAW maupun para sahabat yang menunjukkan bahwa mereka secara konsisten membaca kalimat tersebut setelah tilawah. Bahkan, tuntunan yang jelas justru berlaku untuk bacaan ta’awwudz sebelum membaca Al-Qur’an (QS. an-Nahl: 98) dan anjuran untuk mendengarkan dengan seksama saat Al-Qur’an dibacakan (QS. al-A’raf: 204).
Fatwa: Boleh, Tapi Tidak Ditetapkan
Berdasarkan pertimbangan dalil dan praktik generasi awal Islam, maka hukum membaca “shadaqallahul ‘azhiim” setelah membaca Al-Qur’an adalah boleh (mubah) — selama tidak diyakini sebagai bagian dari syariat atau kewajiban yang harus dilakukan setiap kali tilawah. Kalimat tersebut memiliki makna yang benar, sebagai bentuk pembenaran atas firman Allah, namun tidak bisa dijadikan bagian dari struktur ibadah yang tetap.
Apabila kalimat ini dijadikan kebiasaan baku, bahkan hingga dianggap sebagai bagian dari ritual keagamaan yang harus diikuti, maka hal tersebut dapat dikatakan sebagai bentuk penambahan dalam ibadah yang tidak dicontohkan oleh Nabi SAW. Dalam hal ini, posisi Muhammadiyah melalui Majelis Tarjih dan Tajdid pun tegas, bahwa amalan ibadah harus memiliki dasar dari Rasulullah SAW, dan tidak cukup hanya dengan alasan kebiasaan baik atau makna yang benar.
Penegasan Akhir
Ikrar bahwa Allah Maha Benar adalah keyakinan dalam hati setiap Muslim yang membaca dan mengimani Al-Qur’an. Akan tetapi, menjadikan kalimat shadaqallahul ‘azhiim sebagai bagian wajib dalam setiap penutupan tilawah adalah sesuatu yang tidak berdasar. Islam telah mengatur bentuk dan tata cara ibadah secara detail, dan karenanya, setiap tambahan tanpa dalil dapat menggeser kemurnian syariat.
Dengan memahami hal ini, kita diajak untuk menjaga keseimbangan antara ekspresi iman dan kepatuhan pada tuntunan Nabi SAW. Membaca “shadaqallahul ‘azhiim” boleh dilakukan sebagai ungkapan pribadi, namun tidak perlu dijadikan rangkaian tetap dalam bacaan Al-Qur’an. Ibadah terbaik adalah yang sesuai dengan sunnah, bukan hanya yang disukai oleh tradisi.
Wallahu a‘lam bish-shawab.