
CING CING GOLING GUNUNGKIDUL, JEJAK KYAI PISANG DARI PELARIAN MAJAPAHIT HINGGA TRADISI TASYAKURAN PADUKUHAN GEDANGAN
Gunungkidul TV – Sebuah cerita turun-temurun terus hidup di tengah masyarakat Karangpradesan, wilayah yang kini dikenal dengan Padukuhan Gedangan. Kisah ini berawal dari runtuhnya Kerajaan Majapahit pada tahun 1478 Masehi, yang dalam candra sengkala Jawa dikenal dengan ungkapan sirna ilang kertaning bumi.
Sejarah mencatat, setelah Majapahit runtuh, banyak putra dan cucu Prabu Brawijaya V yang memilih mengungsi. Salah satunya adalah Raden Wisang Sanjaya, yang bersama istri dan dua abdinya Eyang Tropoyo serta Eyang Yudopati melangkah ke barat hingga menemukan tanah tandus yang belum bernama.
Dari Raden Wisang Menjadi Kyai Pisang
Di tanah baru tersebut, mereka disambut oleh tiga kasepuhan yakni Eyang Brojonolo, Eyang Honggonolo, dan Eyang Nolodongso. Untuk melindungi identitasnya, Raden Wisang kemudian diminta menyamarkan nama menjadi Kyai Pisang, sebutan yang terinspirasi dari kemiripan dengan nama aslinya. Dalam bahasa Jawa, pisang disebut gedhang yang kelak memberi jejak pada penamaan daerah tersebut.
Namun, tanah Karangpradesan kala itu gersang dan tandus (cengkar), sehingga sulit dijadikan lahan pertanian. Kyai Pisang yang peduli pada warga kemudian memerintahkan kedua abdinya membangun bendungan di Sungai Kedung Dawang, lengkap dengan saluran irigasi. Aliran air itu mengubah tanah kering menjadi subur, membuka jalan bagi masyarakat untuk bercocok tanam dengan hasil panen yang melimpah.
Tradisi Tasyakuran yang Hidup Hingga Kini
Sebagai ungkapan syukur, ketiga kasepuhan bersama warga menggelar tasyakuran di bendungan tersebut. Sejak saat itu, tradisi syukuran pasca-panen kedua, yang disebut Lemarengan terus dilestarikan. Hingga kini, setiap Senin Wage atau Kamis Kliwon, masyarakat Padukuhan Gedangan mengadakan kenduri tasyakuran.
Acara ini tidak hanya menjadi wujud terima kasih atas hasil bumi, tetapi juga ajang pelestarian seni tradisi. Salah satunya adalah penampilan tari fragmen Cing-Cing Goling, yang menggambarkan perjalanan Raden Wisang Sanjaya bersama istri yang tengah mengandung, ditemani dua abdinya, sambil menghadapi berbagai rintangan.
Pantangan dan Filosofi
Tradisi ini dijalankan dengan penuh aturan. Ada tiga pantangan yang hingga kini dipegang teguh:
1. Hidangan kenduri tidak boleh berupa olahan tempe kedelai.
2. Perempuan yang sedang hamil atau menstruasi dilarang ikut serta.
3. Semua masakan yang dimasak tidak boleh dicicipi sebelum acara kenduri dimulai.
Aturan tersebut diyakini sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur sekaligus menjaga kesakralan tradisi.
Dari Sejarah Menjadi Identitas
Nama Gedangan sendiri berasal dari kata gedhang (pisang), sebagai bentuk penghormatan pada Kyai Pisang yang telah membawa perubahan besar. Dari sebuah tanah tandus, wilayah ini berkembang menjadi permukiman yang ramai karena kesuburannya. Kini, selain menjadi ritual keagamaan dan budaya, tasyakuran Padukuhan Gedangan juga menjadi pengingat bahwa setiap jengkal tanah menyimpan sejarah panjang. Sebuah kisah tentang pelarian, perjuangan, hingga kearifan lokal yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Sumber: Portal website Kalurahan Gedangrejo Karangmojo diedit oleh Redaksi Gunungkidul TV
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.