DALAM BALUTAN DAUN JATI, INILAH KISAH IBU TUMIRAH TEMPE GIRISUBO GUNUNGKIDUL
Gunungkidul TV – Di pagi yang lembut, ketika kabut masih menggantung di lereng bukit Balong, suara gemericik air dari panci kedelai milik Ibu Tumirah menjadi penanda bahwa hari telah dimulai. Asap tipis mengepul dari dapurnya, mengalir pelan seperti doa yang naik ke langit. Dari sinilah, dari sebuah dapur sederhana di Padukuhan Ngrombo II, lahir sebuah cerita tentang kesederhanaan yang menghidupi banyak orang.
Ada aroma khas yang tak bisa ditiru oleh mesin modern yakni perpaduan kedelai hangat dan daun jati yang baru dipetik. Aroma yang mengantar ingatan kembali pada masa ketika tangan-tangan ibu di desa selalu punya cara untuk menambahkan cinta pada makanan. Dan di tangan Ibu Tumirah, aroma itu menemukan rumahnya.

Perempuan yang Menjadikan Dapur sebagai Pelabuhan Harapan
Setiap langkah Ibu Tumirah di dapur memiliki ritme. Seolah ia menari di antara panci-panci besar, baskom kedelai, dan tumpukan daun jati. “Sejak kecil saya sudah lihat ibu bikin tempe daun jati,” tuturnya pelan, suaranya serupa bisikan kenangan.
Namun, perjalanan ini bukan sekadar meneruskan tradisi. Tahun 2024 menjadi titik ketika kehidupannya meminta lebih. Saat harga barang-barang melonjak dan pemasukan tak bertambah, Ibu Tumirah memilih menggenggam keberanian. Ia memperbesar produksi tempe, menata ulang prosesnya, menjaga kualitasnya seketat mungkin.
Dan pelan-pelan, dapurnya berubah. Bukan lagi sekadar tempat memasak, tetapi pelabuhan kecil yang menampung harapan harapannya sendiri dan harapan ibu-ibu tetangganya.
Daun Jati Penjaga Rasa, Penjaga Tradisi
Tak semua orang paham bahwa daun jati memiliki perannya sendiri dalam kisah ini. Ia bukan aksesori. Ia adalah penjaga aroma, pelindung rasa, penyimpan memori. Satu per satu, lembaran daun jati dipilih oleh tangan-tangan yang tahu persis mana yang bisa membungkus tempe dengan baik.
Di sela-sela itu, ibu-ibu sekitar berdatangan. Ada yang memotong, ada yang mencuci, ada yang sekadar mengobrol sambil membantu. Mereka bekerja dalam keheningan yang hangat keheningan yang hanya bisa lahir ketika pekerjaan membawa kebersamaan, bukan hanya uang.
Ketika Pemerintah Datang Menyimak Denyut Usaha Kecil
Jumat pagi (14/11/2024), halaman rumah Ibu Tumirah lebih ramai dari biasanya. Panewu Girisubo Haryanto datang bersama jajaran kapanewon, disusul Lurah Balong dan unsur Forkompinkap. Mereka menengok dari dekat proses produksi yang sederhana namun sarat makna. “Tempe daun jati ini potensi lokal yang harus dikembangkan,” ujar Panewu, suaranya terdengar mantap, seolah sedang memberi semangat kepada seluruh ruang dapur itu, bukan hanya kepada Ibu Tumirah.
Pendampingan ini bukan sekadar acara formal. Ia adalah pengakuan bahwa usaha seukuran dapur kecil pun pantas mendapat perhatian. Bahwa gerakan ekonomi rakyat sering dimulai dari tempat-tempat yang tak pernah muncul di peta: pojok dapur, balai-balai bambu, tangan-tangan perempuan desa.
Ekonomi Kerakyatan yang Bertumbuh dari Kehangatan Sesama
Untuk Ibu Tumirah, tempe bukan hanya rezeki. Ia adalah sebab yang mempertemukan dirinya dengan ibu-ibu lain yang membutuhkan ruang, pekerjaan, atau sekadar rasa percaya diri.
Di sinilah letak keindahannya sebuah usaha yang tidak hanya memberi upah, tetapi juga memberi arti. Ketika perempuan desa bekerja bersama, mereka bukan hanya menyelesaikan pekerjaan, tetapi juga membangun ketangguhan keluarga tanpa banyak kata, tanpa banyak sorotan.
Dari Ngrombo II untuk Girisubo Sebuah Warisan dalam Setiap Bungkus
Tempe daun jati kini mulai dikenal sebagai salah satu kuliner khas Girisubo. Wisatawan yang datang ke Balong atau pantai-pantai sekitar sering mencari produk rumahan ini, sekadar untuk mencicipi rasa yang tak ditemukan di kota.

Di luar nilai kuliner, tempe ini menyimpan kisah yang lebih luas cerita tentang keberanian Ibu Tumirah, tentang solidaritas perempuan desa, tentang pemerintah lokal yang berusaha hadir untuk warganya. Dan mungkin, tentang bagaimana sesuatu yang dibungkus sederhana bisa membawa dampak yang besar.
Sebuah Penutup yang Merayakan Ketahanan
Matahari mulai miring ketika Ibu Tumirah memeriksa tempe-tempe yang baru jadi. Ia tersenyum kecil senyum seorang perempuan yang tahu bahwa perjuangan kadang memang tak kasatmata, tetapi terasa dalam hasilnya.
Dalam setiap bungkus tempe daun jati, terselip lebih dari sekadar makanan. Ada ketekunan. Ada cinta. Ada kekuatan perempuan desa yang sering tak diberi panggung, namun selalu menjadi penopang ekonomi keluarga.
Dan mungkin, itulah inti dari kisah ini: bahwa pemberdayaan tidak selalu dimulai dari ruang rapat besar atau modal yang berlimpah. Terkadang, ia dimulai dari dapur sederhana, dari perempuan yang menjaga tradisi, dari aroma daun jati yang tak pernah lupa pulang. (Red)



Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.