
FESTIVAL KEBUDAYAAN YOGYAKARTA 2025 DI GUNUNGKIDUL, TRADISI MERAWAT ALAM DAN MANUSIA
Gunungkidul TV – Di tengah deru pembangunan dan modernisasi yang kian cepat, masyarakat Gunungkidul kembali meneguhkan jati dirinya melalui Festival Kebudayaan Yogyakarta (FKY) 2025. Dengan semangat Wes Gek Ayo Ngruwat Menungsane, Rawat Alame Cah!, festival ini tak sekadar menjadi ajang seni dan hiburan, tetapi juga ruang refleksi tentang kearifan lokal yang menyatu dengan alam.
Di balik gemerlap panggung budaya, terselip pesan mendalam: mitos dan adat bukan sekadar cerita lama, melainkan pedoman hidup ekologis yang diwariskan dengan penuh cinta.

Ritual sebagai Bentuk Syukur dan Perawatan Alam
Gunungkidul memiliki banyak ritual adat yang masih dijaga hingga kini. Salah satunya adalah upacara bersih belik sebuah tradisi membersihkan sumber air, sendang, atau sungai yang menjadi sumber kehidupan masyarakat. Setelah membersihkan, warga biasanya menggelar kenduri dan meletakkan sesaji sebagai wujud syukur.
Tradisi ini mencerminkan kesadaran ekologis masyarakat sejak lama. Bagi mereka, tanah, air, dan pohon bukanlah benda mati, melainkan makhluk hidup yang memiliki jiwa dan harus dihormati. Dengan cara itulah warga menjaga hubungan spiritual dengan alam sebuah kesadaran yang kini terasa semakin relevan di tengah isu krisis lingkungan.
Ngilangse: Menyelimuti Pohon, Menyelamatkan Kehidupan
Di beberapa wilayah Gunungkidul, masih mudah ditemukan pohon besar yang dilangse diselimuti kain putih, bambu, atau anyaman daun kelapa (bleketepe). Tradisi ini disebut Ngilangse. Pohon yang telah dilangse dianggap sakral, sehingga orang akan berpikir dua kali sebelum menebangnya.
Lebih dari sekadar simbol, Ngilangse adalah bentuk nyata dari etika ekologis masyarakat. Menyelimuti pohon berarti menjaga kehidupan, karena pohon dipercaya sebagai penjaga air dan peneduh bumi. Dari akar-akar tradisi itulah, masyarakat Gunungkidul belajar untuk mencintai alam dengan cara yang halus dan penuh penghormatan.
Kirim Parem untuk Dewi Sri: Ungkapan Cinta kepada Alam
Ritual lainnya yang tak kalah menarik adalah kirim parem untuk Dewi Sri dewi padi yang dipercaya sebagai penjaga kesuburan dan sumber kehidupan. Parem terbuat dari campuran bahan alami seperti bedak, kunyit, dan kayu manis yang diracik lalu diletakkan dalam daun pisang.
Tradisi ini biasanya dilakukan tiga kali selama masa tanam saat padi berusia 40, 60, dan 90 hari. Sambil meletakkan parem di tengah sawah, para petani melantunkan doa dan mantra, bukan hanya untuk panen yang melimpah, tetapi juga sebagai ungkapan cinta dan terima kasih pada bumi yang memberi kehidupan.
Tradisi Bukan Sekadar Seremoni
Di Gunungkidul ritual dan tradisi bukan sekadar seremoni tahunan. Ia adalah laku batin, upaya spiritual untuk merawat hubungan antara manusia dan alam. Dari larangan menebang pohon besar, menjaga kebersihan sumber air, hingga ritual memberi sesaji, semuanya mengandung pesan ekologis yang mendalam.
Budaya menjadi benteng paling bijak dalam menjaga keseimbangan alam. Di balik setiap doa dan sesaji, tersimpan filosofi hidup yang menuntun manusia untuk tidak serakah dan selalu bersyukur.

Budaya sebagai Penjaga Alam
Festival Kebudayaan Yogyakarta 2025 di Gunungkidul seolah mengingatkan kita semua menjaga budaya berarti menjaga alam. Ketika mitos dan adat dipahami sebagai warisan ekologis, maka kearifan lokal akan menjadi cahaya penuntun di masa depan.
“Wes gek ayo ngruwat menungsane, rawat alame cah!” ajakan sederhana yang sarat makna. Mari membersihkan diri, menyucikan niat, dan kembali merawat alam, karena dari sanalah kehidupan bermula.
Dalam setiap tetes air di sendang, setiap helai daun di pohon resan, dan setiap butir padi di sawah, sesungguhnya ada doa manusia Gunungkidul yang tak pernah putus: hidup selaras dengan alam, dengan rasa syukur yang tak terhingga. (Red)
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.