JELANG RAMADHAN, KALURAHAN SAMBIREJO GUNUNGKIDUL LAKUKAN TRADISI NYADRAN AKBAR BERSAMA TOMAS DAN TOGA

Gunungkidul TV – Sekarang adalah waktu antara, yaitu antara musim kemarau dan musim penghujan. Waktu seperti ini adalah waktu berakhirnya pelaksanaan upacara suci periodik tahunan sejenis Amerti-Bumi, bersih dusun atau bersih desa, labuhan, rasulan, dan sadranan atau nyadran.

Upacara suci periodik tahunan semacam Sadranan atau Nyadran dirayakan oleh masyarakat Gunungkidul sepanjang bulan Juni-Oktober, yaitu waktu ketika berbagai hasil panen yang tergolong pala-palanan seperti gabah-pari (palawiji); jagung, kacang, dan kedelai (palawija) selesai ‘diawetkan’ untuk kemudian disimpan ke dalam lumbung.

Sementara, berbagai jenis palapendhem seperti: tela, uwi, gembili, tela-pendhem, dan palagantung, palakirna, serta pala-palanan lain sebagian disimpan dalam lumbung, sebagian dibiarkan saja tetap hidup di ladang sekitar sebagai cadangan pangan. Selain untuk cadangan pangan, sebagian pala-palanan difungsikan sebagai benih untuk masa tanam berikutnya. Sebagian lagi juga diolah dan digunungkan sebagai ubarampe atau perlengkapan Upacara Nyadran. Berbagai jenis hasil pertanian berupa pala-palanan dan hasil peternakan seperti ayam dan kambing merupakan ubarampe makanan dalam prosesi Upacara Nyadran.

Merujuk penjelasan Kamituwo Kalurahan Sambirejo, Kapanewon Ngawen, Kabupaten Gunungkidul, Banteng Purwanto, nyadran adalah tindakan ngluwari punagi. Ngluwari-punagi merupakan tindakan menghilangkan keburukan. Caranya dengan melunasi hutang kata-kata yang pernah diucapkan.

Tindakan nyadran disaksikan oleh warga masyarakat dan leluhur yang bersemayam di Pemakaman Suto Renggo Sambeng, serta dimohonkan kepada Tuhan Yang Maha Pencipta. “Nyadran menika kebatosan ingkang kedah dipun jumbuhaken kaliyan kasunyatan,” ucap, banteng Sabtu (22/2/2025).

Masyarakat pendukung upacara periodik tahunan Sadranan atau Nyadran mayoritas adalah amongtani atau amongkisma. Kisma adalah tanah atau bumi. Para amongkisma mengolah tanah untuk menghasilkan pala (buah-kerja). Nyadran, upacara suci ini, mengingatkan masyarakat tentang adanya tanah atau bumi di mana para amongkisma bercucuran-keringat dan “berdarah-darah” mengolahnya, kemudian berbagai jenis pala-palanan dapat tumbuh dan berkembang biak, kelak hasilnya digunakan untuk mencukupi kebutuhan pangan.

Tanah dipandang sebagai ruang proses produksi dan reproduksi tahunan untuk menghasilkan makanan. Tanah adalah tempat dimana prosesi kehidupan Ilahiyah bercocok-tanam berlangsung. Tanah adalah simbok (ibu), yaitu sumber kelangsungan hidup para amongkisma. Konsekuensinya: muncul upacara-upacara sejenis Nyadran dan dimaksudkan untuk menjaga kelestarian hubungan antara kehidupan manusia dengan denyut kehidupan di alam (bebrayan).

Mong mongi, yaitu membuatkan dan mempersembahkan sesajian makanan ditujukan kepada bumi atau unsur “adikodrati” kala upacara suci berlangsung, merupakan tatacara mengelola, mengatur, atau menyajikan kasih-sayang keluarga manusia ditujukan kepadanya. Sebaliknya, bumi dan unsur adikodrati memberikan kasih sayangnya kepada keluarga manusia dengan memberi panen yang baik.

Mong mongi lewat sesajian makanan merupakan usaha manusia untuk nyrateni bumi atau ngaten-ateni bumi. Ketika para keluarga among-kisma berkumpul pada waktu sakral untuk mengadakan upacara, makanan-makanan istimewa diolah, dihidangkan, dan disantap bersama.

Manusia mengadakan reunifikasi pada “nol waktu”, yang tak lain adalah “waktu sakral sekarang” sebagai perulangan “waktu sakral mulabuka” (waktu awal). Upacara Sadranan atau Nyadran merupakan bentuk “rekreasi spiritual” ke kondisi waktu sakral mulabuka ini, yaitu waktu kemurnian dan kekosongan di mana para penyadran melalui ucapan nyadran yang dilakukan berharap tak memiliki utang kata-kata dan permasalahan lagi.

Sepintas tampak kontras, di dalam laku kembali ke kemurnian dan kekosongan ini terkandung prosesi pariwisata dan pesta makanan. Pariwisata dalam hal ini adalah tindakan berwisata kepada hal yang romantik, yang awali, berhubungan dengan kegiatan bercocok tanam yang pada akhirnya menghasilkan produk-produk pertanian dan peternakan, kemudian dipersembahkan dan disuguhkan kala upacara suci berlangsung berupa makanan olahan.

Para pendukung upacara Nyadran yang notabene adalah para amongtani memiliki romantisme tentang laku menanam dan merawat bahan makanan, mengolah makanan, kemudian menyajikannya dalam berbagai bentuk olahan dan kemasan.

 

Jika makanan-makanan yang disajikan dalam upacara suci dianggap merekam peristiwa sejarah dan pandangan hidup masyarakat pendukung upacara suci yang bersifat sangat mistik (kebatosan), maka masyarakat selalu ingin mengulangi menikmatinya di saat waktu sakral tahunan.

Kenangan awali tentang sejarah masa lalu suatu masyarakat yang romantik bisa dirasakan ulang melalui laku yang berhubungan dengan teknologi makanan dari mendesain penanaman dan pengolahan hingga menyajikan sebagai ubarampe ketika Upacara Nyadran berlangsung. (Red)

__Terbit pada
Februari 23, 2025
__Kategori
Ragam