
JERITAN SUNYI KORBAN KEKERASAN SEKSUAL GUNUNGKIDUL, MY ESTI WIJAYATI WAKIL KETUA KOMISI X DPR RI SUARAKAN KEADILAN
Gunungkidul TV – Kabupaten Gunungkidul kembali dikejutkan oleh kabar memilukan, seorang remaja putri berusia 15 tahun harus menanggung beban berat akibat dugaan tindak pidana kekerasan seksual yang dilakukan oleh seorang pria berusia sekitar 20 tahun. Ironisnya, pelaku adalah tetangga sekaligus kerabat dekat korban. Peristiwa tragis ini bukan hanya meninggalkan luka, namun juga membuat korban dan keluarganya harus mengungsi ke Kota Yogyakarta karena merasa tertekan oleh stigma dan intimidasi di lingkungan sekitar.
MY Esti Wijayati Wakil Ketua Komisi X DPR RI, turun langsung menanggapi kasus tersebut. Dalam keterangannya, ia menegaskan bahwa kasus ini tidak hanya melukai satu keluarga, tetapi juga mengguncang nilai kemanusiaan. “Kami mengutuk keras segala bentuk kekerasan seksual terhadap anak. Hukum harus ditegakkan, dan korban berhak mendapatkan perlindungan penuh,” tegasnya.
Kronologi Kasus
Dari hasil penelusuran yang diterima Esti, peristiwa kelam ini terjadi pertama kali pada Februari 2025 dan berlangsung hingga enam kali di waktu berbeda. Kasus baru terungkap pada Juli 2025, ketika sang ibu membawa putrinya ke fasilitas kesehatan dan mendapati anaknya telah hamil.
Keluarga sempat membawa persoalan ini ke forum warga. Namun upaya perdamaian yang dituangkan dalam perjanjian tertulis ternyata tak kunjung ditepati oleh pihak terduga pelaku. Akhirnya, pada 12 Agustus 2025, orang tua korban melaporkan kasus tersebut ke Polres Gunungkidul. Saat proses hukum berjalan, intimidasi demi intimidasi datang menghantui, hingga keluarga korban terpaksa mengungsi.
Catatan Hukum dan Sosial
Kasus ini, menurut Esti, jelas memenuhi unsur tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 81 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, dengan ancaman hukuman hingga 15 tahun penjara. Upaya damai yang sempat ditempuh warga tidak dapat menghentikan proses hukum karena kekerasan seksual terhadap anak merupakan delik biasa, bukan perkara yang bisa selesai dengan restorative justice.
Lebih jauh, Esti menyoroti adanya dorongan perkawinan antara korban dengan pelaku. Ia menegaskan bahwa pemaksaan perkawinan anak justru termasuk tindak pidana kekerasan seksual, sesuai dengan UU No. 12 Tahun 2022. “Yang seharusnya dilakukan adalah mendampingi korban, memberi dukungan psikologis, bantuan hukum, hingga konseling. Bukan justru menstigma dan mengucilkan,” ujarnya.
Seruan Esti Wijayati
Dalam sikap resminya, Esti Wijayati menyampaikan lima poin penting:
1. Mengutuk keras kekerasan seksual terhadap anak.
2. Mendorong Polres Gunungkidul segera menangkap dan menahan pelaku.
3. Mengajak lembaga hukum, perlindungan anak, dan LPSK untuk memberi perlindungan menyeluruh bagi korban.
4. Mengingatkan masyarakat agar menciptakan ruang aman dan nyaman bagi korban.
5. Mendesak Pemkab Gunungkidul untuk aktif melindungi korban serta mengedukasi publik tentang bahaya kekerasan seksual.
Harapan untuk Gunungkidul
Kasus ini menjadi alarm bagi semua pihak, bahwa perlindungan anak bukan sekadar wacana, melainkan tanggung jawab bersama. Gunungkidul, dengan segala kearifan lokalnya, diharapkan mampu menjadi ruang yang aman bagi generasi muda. “Anak-anak adalah masa depan kita, jangan biarkan mereka tumbuh dengan trauma, tetapi berikan mereka kesempatan untuk sembuh, bangkit, dan meraih cita-cita,” tutup Esti. (Red)
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.