KAPAL HARAPAN DARI SAMUDRA NUSANTARA (SEBUAH CERPEN)

Gunungkidul TV – Dukungan rakyat Indonesia untuk kemerdekaan Palestina memasuki babak baru. Melalui Sumud Nusantara, Indonesia resmi bergabung dalam Global Sumud Flotilla, sebuah misi kemanusiaan lintas negara yang digadang-gadang sebagai aksi perlawanan sipil terbesar dalam sejarah modern untuk menembus blokade ilegal Israel di Jalur Gaza. Inisiatif ini melibatkan lebih dari 44 negara.

Hari itu, dermaga Tanjung Priok dipenuhi orang. Bendera Palestina dan Merah Putih berkibar berdampingan, menyatu dalam semangat yang sama: melawan ketidakadilan. Ratusan orang datang, sebagian hanya ingin melepas keberangkatan para relawan, sebagian lagi meneteskan air mata haru. Ada dokter muda yang meninggalkan kariernya di rumah sakit ternama, ada jurnalis yang siap mengabarkan dari garis depan, ada aktivis yang membawa semangat rakyat kecil.

Di antara mereka berdiri Fikri, seorang pemuda dari Surabaya. Ia hanyalah anak buruh pelabuhan yang sejak kecil ditempa dengan kerasnya hidup. Namun dari ayahnya yang sering mendengar berita Palestina lewat radio tua, Fikri tumbuh dengan rasa solidaritas yang mendalam. “Nak, mereka sama seperti kita, manusia yang ingin hidup merdeka. Kalau kau bisa berbuat sesuatu, lakukanlah,” pesan sang ayah sebelum meninggal. Kata-kata itulah yang mendorong Fikri mendaftarkan diri dalam misi Global Sumud Flotilla.

Kapal besar berwarna putih bertuliskan Freedom for Palestine perlahan mengibarkan jangkar. Suasana penuh doa, takbir, dan nyanyian perjuangan. Fikri berdiri di dek, memandang laut lepas yang seolah membuka jalan menuju Gaza. Dalam hatinya ia berbisik, “Bismillah, ini bukan sekadar perjalanan laut, ini perjalanan nurani.”

Perjalanan tidak mudah. Ombak ganas kadang mengguncang kapal, membuat sebagian relawan mabuk laut. Tapi kebersamaan menguatkan. Para dokter sibuk melayani relawan yang sakit, jurnalis menulis catatan harian perjalanan, seniman mencatat dalam sketsa wajah-wajah penuh semangat. Di malam hari, mereka berkumpul di geladak, saling berbagi kisah. Dari relawan Turki, Fikri mendengar cerita tentang Mavi Marmara 2010, kapal flotilla yang diserang hingga memakan korban jiwa. “Kita tahu risikonya,” kata pria Turki itu, “tapi sejarah selalu menuntut keberanian.”

Hari berganti, kapal terus melaju mendekati Laut Mediterania. Kabar-kabar ancaman datang: armada laut Israel siap menghadang. Di atas kapal, suasana hening bercampur degup jantung yang kencang. Sebagian relawan membaca Al-Qur’an, sebagian lagi menulis surat wasiat. Fikri hanya menatap langit malam, teringat wajah ibunya yang menahan tangis ketika melepasnya.

Ketegangan mencapai puncak ketika radar kapal menangkap bayangan armada militer. Suara sirene meraung, pengeras suara memperingatkan kapal untuk berbalik. Tapi kapten kapal, seorang perempuan tangguh dari Norwegia, menolak. “Kami datang membawa bantuan kemanusiaan. Kami tidak bersenjata!” teriaknya lewat radio. Armada Israel mendekat, menyorotkan lampu-lampu tajam ke arah kapal relawan.

Tiba-tiba, ledakan suara kejut terdengar. Beberapa relawan jatuh terguncang, asap memenuhi udara. Fikri merunduk, jantungnya berdegup keras. Namun alih-alih mundur, mereka justru meneriakkan takbir, menyalakan lampu-lampu kecil, dan mengibarkan bendera dari 44 negara. Dunia sedang menonton.

Lalu keajaiban terjadi. Kapal-kapal kecil nelayan dari berbagai negara sekitar muncul entah dari mana. Ada yang datang dari Yunani, Turki, bahkan Italia. Mereka mengelilingi flotilla, seakan menjadi perisai. Armada Israel sempat berputar-putar, tapi tekanan dunia internasional sudah terlalu kuat. Media global menyiarkan langsung ketegangan itu. Hashtag #SumudFlotilla menduduki puncak trending dunia.

Kapal akhirnya berlabuh di pelabuhan Mesir, pintu terdekat menuju Gaza. Meski tidak langsung menembus blokade, misi berhasil mengirimkan pesan kuat: dunia tidak tinggal diam. Para relawan turun dengan wajah lelah, tapi penuh cahaya. Fikri merasakan sesuatu yang sulit digambarkan campuran lega, haru, dan rasa kecil di hadapan sejarah besar.

Di sebuah tenda darurat, seorang anak Palestina yang berhasil keluar dari Gaza untuk sementara mendekati Fikri. Ia tersenyum sambil berkata dengan bahasa Inggris terbata, “Terima kasih, saudara dari Indonesia. Suara kalian sampai di hati kami.” Air mata Fikri pun jatuh. Semua lelahnya terbayar. Namun, ketika rombongan bersiap kembali ke kapal untuk pulang, kabar mengejutkan datang. Daftar manifest penumpang terakhir tidak mencatat nama Fikri. Ia tak pernah tercatat sejak awal berangkat. Relawan lain bingung bagaimana mungkin seorang pemuda yang bersama mereka sepanjang perjalanan, tidur di dek, ikut doa, bahkan membantu membagi logistik, ternyata tak ada dalam catatan resmi?

Mereka mencari ke sekeliling, tapi Fikri menghilang begitu saja. Hanya ada tas kain tua berisi radio rusak dan sebuah catatan lusuh bertuliskan, “Ayahku ingin melihat Gaza bebas. Jika aku tak kembali, doakan aku.”

Relawan saling pandang, merinding. Kapten kapal pun terdiam. Nama Fikri tak pernah ada dalam daftar, namun semua orang mengingat kehadirannya. Hingga akhirnya, seorang jurnalis Turki berbisik, “Mungkin dia bukan sekadar relawan. Mungkin dia adalah ruh perjuangan yang menyertai kita.”

Ditulis oleh: Taufan Hidayat

__Terbit pada
September 24, 2025
__Kategori
News