
LURAH MELANTIK ANAK KANDUNG SEBAGAI DUKUH, APAKAH BOLEH? INI PENJELASAN REGULASI DAN ETIKA PEMERINTAHAN
Gunungkidul TV – Praktek pengangkatan perangkat kalurahan kembali menjadi sorotan masyarakat. Salah satu isu yang mengemuka adalah apakah seorang lurah dibenarkan melantik anak kandungnya sendiri sebagai dukuh atau perangkat kalurahan lainnya. Di tengah gencarnya upaya mewujudkan tata kelola pemerintahan desa yang bersih dan berintegritas, pertanyaan ini menjadi penting untuk ditelaah secara hukum dan etika.
Dalam konteks regulasi, pelarangan praktik semacam itu bukanlah hal baru. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dengan tegas menyebut bahwa kepala desa, atau lurah dalam istilah lokal, dilarang melakukan praktik nepotisme dalam pengangkatan perangkat desa. Larangan ini diperjelas melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 67 Tahun 2017 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Perangkat Desa.
Pada Pasal 13 ayat (1) Permendagri tersebut, disebutkan secara spesifik bahwa “Kepala Desa dilarang mengangkat perangkat desa dari keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas, ke bawah, ke samping sampai derajat ketiga.”
Dengan demikian, anak kandung, saudara kandung, bahkan keponakan pun tidak boleh diangkat menjadi perangkat kalurahan oleh kepala desa atau lurah. Aturan ini diberlakukan demi mencegah benturan kepentingan sekaligus menjaga objektivitas dalam perekrutan perangkat yang seharusnya dilakukan secara terbuka, transparan, dan berbasis pada kompetensi. Selain regulasi tersebut, praktik nepotisme juga bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Dalam konteks ini, pengangkatan perangkat desa yang berhubungan darah langsung dengan kepala desa bisa dikategorikan sebagai pelanggaran etika penyelenggaraan pemerintahan.
Masyarakat memiliki hak untuk mempertanyakan dan bahkan melaporkan praktik tersebut ke instansi berwenang, seperti Inspektorat Daerah, Ombudsman, atau bahkan ke Bupati/Wali Kota selaku pihak pembina dan pengawas pemerintahan desa.
Jika pelanggaran terbukti terjadi, maka pengangkatan perangkat tersebut bisa dibatalkan, dan lurah yang bersangkutan dapat dikenai sanksi administratif, bahkan tidak menutup kemungkinan sanksi hukum.
Etika dan Keteladanan Lurah Diuji
Menjadi lurah bukan sekadar jabatan struktural, tetapi juga posisi strategis yang menuntut keteladanan dan integritas moral. Di tengah harapan publik yang semakin tinggi terhadap transparansi dan akuntabilitas pemerintah desa, praktik-praktik nepotistik semacam ini berpotensi menggerus kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pemerintahan di tingkat paling bawah.
Alih-alih melibatkan kerabat, pengangkatan dukuh atau perangkat desa seharusnya menjadi momentum memperkuat partisipasi publik. Melibatkan panitia independen, membuka ruang seleksi yang terbuka dan kompetitif, serta memberikan ruang bagi masyarakat untuk mengawasi prosesnya. Dengan demikian, kalurahan bisa tumbuh menjadi institusi yang kuat, dipercaya, dan berpihak pada kepentingan warga, bukan kepentingan keluarga atau golongan.
Jika masyarakat menjumpai kasus serupa di wilayahnya, penting untuk mengedepankan saluran yang sah dan prosedural dalam menyampaikan aspirasi atau laporan. Pemerintahan desa yang bersih bukan hanya tugas lurah, tapi tanggung jawab bersama seluruh elemen masyarakat. (Red)