MENELUSURI KOMPAS KEHIDUPAN, MEMAHAMI HALAL DAN HARAM DALAM ISLAM

Gunungkidul TV – Dalam hiruk-pikuk kehidupan modern, istilah ’halal’ dan ’haram’ sering kita dengar. Label di kemasan makanan, tanda sertifikasi di restoran, bahkan perdebatan etika di media sosial, semuanya berputar pada dua kata ini. Namun, lebih dari sekadar label, halal dan haram adalah kompas yang menuntun umat Islam menjalani hidup secara selamat, sehat, dan penuh berkah.

Halal berarti sesuatu yang diperbolehkan menurut syariat, baik dari sisi hukum maupun manfaatnya bagi manusia. Sebaliknya, haram adalah sesuatu yang dilarang Allah SWT karena membawa mudarat. Keduanya menjadi panduan moral, spiritual, dan sosial bagi umat Islam. Allah SWT berfirman: “Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal lagi baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 168)

Ayat ini menegaskan: halal bukan hanya soal boleh atau tidak, melainkan juga “thayyib” – baik, bersih, dan bermanfaat. Makanan yang halal dan baik menjaga tubuh sehat, pikiran jernih, dan jiwa tenteram.

Rasulullah SAW pun berpesan: “Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Di antara keduanya ada perkara yang samar…“ Barangsiapa menjaga diri dari perkara syubhat, ia telah membersihkan agama dan kehormatannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Pesan ini mengajarkan kehati-hatian. Jika statusnya masih ragu-ragu (syubhat), lebih baik ditinggalkan agar kita selamat dari yang diharamkan.

Lebih dari Sekadar Makanan

Al-Qur’an mengatur jelas larangan makan bangkai, darah, daging babi, dan hewan yang disembelih bukan atas nama Allah (QS. Al-Maidah: 3). Larangan ini bukan semata ritual, tetapi juga hikmah kesehatan: menghindari racun, penyakit, dan bahaya bagi tubuh.

Namun, halal dan haram tak berhenti di meja makan. Dalam mencari nafkah, umat Islam dituntut menjauhi praktik riba, penipuan, kecurangan, dan korupsi. Rasulullah SAW bersabda bahwa Allah melaknat pemakan riba, pemberi riba, penulisnya, dan saksi-saksinya (HR. Muslim). Artinya, kebersihan rezeki lebih penting daripada sekadar banyaknya.

Halal juga menyangkut hubungan sosial. Islam menghalalkan pernikahan sebagai jalan mulia menyalurkan kasih sayang, namun mengharamkan zina karena merusak moral, keluarga, dan masyarakat (QS. Al-Isra’: 32). Semua aturan itu sejatinya menjaga lima pokok utama kehidupan (maqashid syariah): agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.

Tantangan Era Modern

Di zaman serba instan, bahan makanan bercampur kimia, teknologi rekayasa genetik, dan proses produksi yang tak jelas asal-usulnya, sertifikasi halal menjadi kebutuhan penting. Bukan hanya soal makanan dan minuman, di dunia digital pun berlaku prinsip halal-haram. Menyebar hoaks, fitnah, atau ujaran kebencian termasuk perbuatan haram yang merusak kehormatan orang lain. Rasulullah SAW mengingatkan: “Cukuplah seseorang dikatakan pendusta apabila ia menceritakan setiap hal yang ia dengar.” (HR. Muslim)

Jalan Hidup yang Membahagiakan

Paparan ayat dan hadis ini menegaskan bahwa halal bukan sekadar label, tetapi jalan hidup yang mendatangkan berkah. Haram bukan sekadar larangan, tetapi pagar pengaman agar manusia tidak terjerumus. Dengan memilih yang halal, kita menjaga tubuh sehat, rezeki bersih, hubungan sosial terhormat, dan hati tenteram.

Allah SWT menutup pesan ini dengan firman-Nya: “Maka makanlah dari rezeki yang diberikan Allah kepadamu yang halal lagi baik, dan syukurilah nikmat Allah, jika hanya kepada-Nya kamu menyembah.” (QS. An-Nahl: 114)

Pesannya sederhana namun dalam: halal, syukur, dan ibadah saling berkait. Menjaga diri dari yang haram bukan beban, melainkan bentuk cinta kita kepada Allah yang berbalas ketenangan dan keberkahan hidup.

Ditulis oleh: Taufan Hidayat

__Terbit pada
September 30, 2025
__Kategori
Ragam