PANCASILA APAKAH MASIH SAKTI? SEBUAH RENUNGAN DI HARI KESAKTIAN PANCASILA

Gunungkidul TV – Setiap kali kalender menunjukkan tanggal 1 Oktober, ingatan kolektif bangsa ini kembali pada satu kata kunci: Kesaktian Pancasila. Upacara peringatan digelar di sekolah-sekolah, kantor pemerintahan, hingga lapangan-lapangan desa. Lagu kebangsaan dikumandangkan, bendera dikibarkan, dan para peserta mengenang kembali peristiwa kelam tahun 1965 ketika ideologi bangsa ini diuji.

Di tengah suasana yang semakin modern dan serba digital, pertanyaan pun mengemuka: ’Apakah Pancasila masih sakti?’ Apakah ia sekadar jargon upacara tahunan, atau benar-benar pedoman hidup yang mampu menyatukan bangsa?

Dari Tragedi ke Tradisi
Sejarah mencatat, Pancasila lahir sebagai hasil perenungan mendalam para pendiri bangsa untuk menemukan dasar yang bisa diterima seluruh golongan. Kesaktiannya pertama kali diuji saat berbagai pemberontakan ideologi tandingan muncul: DI/TII, RMS, hingga G30S/PKI. Namun dasar negara ini tetap berdiri tegak, menjaga keutuhan republik. Karena itulah, sejak era Orde Baru, 1 Oktober diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Upacara yang kita saksikan hari ini bukan sekadar formalitas, tetapi simbol bahwa bangsa ini pernah melewati ujian besar dan keluar sebagai pemenang.

Sakti di Atas Kertas, Tantangan di Lapangan

Secara hukum, Pancasila tetap menjadi sumber segala peraturan perundang-undangan. Pembukaan UUD 1945 yang memuat lima sila itu tak pernah tergeser. Namun di lapangan, realitasnya tak selalu seindah teks.

Masih ada korupsi, intoleransi, polarisasi politik, hingga kesenjangan sosial. Nilai ’Keadilan Sosial’ atau ’Persatuan Indonesia’ kerap terasa jauh dari kehidupan sehari-hari. Ini menimbulkan kesan bahwa kesaktian Pancasila lebih bersifat simbolik daripada nyata.

Antonius Benny Susetyo (Pakar Komunikasi Politik) mengatakan “Kalau pemimpin memiliki roh Pancasila, dia akan mencintai rakyat dan memperhatikan kebijakan-kebijakan untuk rakyatnya.”

“Kerahiman itu pula yang menuntun jiwa seorang yang kredibel dalam kasih dan yang bisa menunjukkan kasihnya kepada mereka yang miskin, tersisih, dan lemah.”

Kesaktian yang Harus Dihidupkan

Namun para akademisi menegaskan, Pancasila bukanlah mantra sakti yang otomatis bekerja. Ia adalah kompas etis yang harus terus dihidupkan. Kesaktiannya bukanlah benda mati, melainkan hasil kesadaran kolektif warga negara. Semakin konsisten kita mengamalkannya, semakin “sakti” pula ia di mata rakyat.

Tantangan zaman globalisasi, media sosial, ekonomi digital, dan isu lingkungan menuntut interpretasi baru terhadap nilai-nilai Pancasila. Pendidikan karakter, dialog lintas agama, hingga kebijakan yang adil perlu menjadi bukti nyata pengamalan lima sila itu.

Prof. Wuryadi (Guru Besar, Universitas Negeri Yogyakarta) “Pancasila tidak dapat hidup dan diimplementasikan dalam kehidupan tanpa nasionalisme, sebaliknya nasionalisme bangsa Indonesia tidak mungkin terjadi tanpa landasan Pancasila.”

Renungan di Hari Kesaktian Pancasila

Di balik upacara bendera yang khidmat, peringatan Hari Kesaktian Pancasila sejatinya mengajak kita bercermin. Bukan hanya mengenang masa lalu, tetapi juga bertanya: sudahkah kita menerapkan Pancasila dalam keseharian? Sudahkah pemimpin bangsa menjadikannya pedoman dalam kebijakan?

Jika jawabannya ’iya’, maka Pancasila akan selalu sakti bukan karena semboyan, tetapi karena hidup di hati rakyatnya. Namun jika jawabannya ’belum’, maka peringatan 1 Oktober hanyalah seremonial tanpa makna.

Penutup yang Menggugah

Kesaktian Pancasila tidak berhenti pada sejarah 1965. Ia hidup sepanjang kita, sebagai bangsa, mau menjaga nilai-nilainya: Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial. Hari Kesaktian Pancasila bukan hanya tentang masa lalu yang kita kenang, tetapi juga masa depan yang kita perjuangkan bersama. (Red)

__Terbit pada
Oktober 1, 2025
__Kategori
Ragam