PARPOL YANG TAK PERCAYA (DIRI) PADA KADERNYA
Gunungkidul TV – Tujuan terpenting partai politik salah satunya adalah mencipta dan menyiapkan pemimpin bangsa. Parpol ibarat kawah candradimuka untuk menggembleng calon pemimpin yang tangguh dan mumpuni.
Dalam konteks PILKADA kab Gunungkidul yang akan diselenggarakan bulan Desember tahun ini, parpol tak mampu memainkan perannya dengan baik. Sangat jelas kesan bahwa mereka tak percaya (diri) dengan kader-kader didikan mereka.
PDI Perjuangan mungkin yang paling mengherankan dimana mereka sama sekali tak memunculkan kadernya yang benar-benar merah. Bagaimana bisa Partai yang sukses mengorbitkan pemimpin-pemimpin kelas raksasa macam Jokowi, Ganjar Pranowo atau Risma tak percaya diri dengan kadernya dan malah memilih ‘orang luar’ seperti Bambang Wisnu dan Benyamin? Berikutnya PAN. Mereka punya kader sangat militan dan kuat dalam diri Imawan Wahyudi namun nyatanya mereka lebih percaya pada doktor dari UNY yang nyaris tak punya hubungan historis penting dengan PAN. Ada Ardi di posisi wakil, namun anak muda itu tak benar-benar menutup ketidakpercayaan PAN atas kadernya.
Partai Golkar sama saja. Mereka membuang kader terbaiknya Bunda Martanty dan lebih yakin pada Prajurit yang berkarier di Jakarta. Lalu ada NASDEM. Partai ini paling faham dalam memaknai politik sebagai ‘Seni nderuk’i Kweni Gogrok’ seni memungut mangga yang jatuh. Begitu ada ‘kweni’ matang dan harum jatuh mereka segera mengambilnya. Tak tanggung-tanggung Partai warna biru ini memungut 2 tokoh dari lain partai sekaligus; Immawan Wahyudi dan Martanti.
Fenomena ketidakpercayaan partai politik atas kadernya sendiri ini lantas menciptakan sebuah alur yang unik; PDIP ambil dari Nasdem, Nasdem ambil dari PAN dan Golkar. Saya menduga saat ada yang menanyakan kepada para parpol tersebut mengapa tak percaya pada kadernya sendiri dan malah memilih ‘orang luar’? Meraka akan menjawab dengan narasi standar “Politik itu Dinamis”, “Politik itu seni merebut kekuasaan. Jika ada pilihan yang lebih menguntungkan itu yang akan dipilih” dsb.
Jika demikian maka tafsir terhadap politik akan sangat liar. Maka bisa saja lantas ada sebagian orang akan menganggap bahwa politik adalah seni ‘ketidaktahumaluan’. Atau benarlah kata orang-orang yang mengaggap politik sebagai dagelan paling lucu. (penulis Aisworo Ang)
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.