
WAJAH GANDA DI BALIK DOA MALAM (SEBUAH CERPEN)
Gunungkidul TV – Malam menurunkan tirainya di kota kecil itu. Angin berhembus lembut, membawa aroma tanah basah dan bisikan doa yang terangkat ke langit. Di masjid tua, cahaya lampu minyak berpendar temaram, seolah menjadi saksi bagi mereka yang datang dengan hati penuh harap.
Di shaf terdepan, Farid berdiri dengan peci putih dan wajah tunduk. Suaranya merdu, mengalun ayat suci yang menenangkan hati jamaah. Mereka menatapnya seakan ia cahaya yang membimbing jalan menuju Tuhan. Namun, tak semua cahaya berasal dari dalam. Ada yang hanya pantulan, sekilas tampak indah, tetapi kosong tanpa sumber sejati. Begitulah Farid. Begitu melangkah keluar dari masjid, wajahnya berganti. Senyum teduh hilang, tatapan dingin muncul. Di balik doa yang ia panjatkan, tersimpan rencana penuh dusta.
Di rumah, Aisyah sering menangis dalam sujudnya. Ia mencintai Farid, tetapi menyaksikan suaminya menjadikan ayat suci sebagai selimut bagi dosa membuat hatinya remuk. “Abang, janganlah menipu dirimu sendiri. Allah tidak pernah tidur,” bisiknya suatu malam.
Farid tersenyum hambar. “Kau terlalu polos. Dunia ini bukan milik orang-orang yang jujur, tapi milik mereka yang pandai memainkan wajah.” Kata-katanya jatuh bagai pisau. Aisyah terdiam, lalu kembali mencari ketenangan di sajadah, berharap Allah menunjukkan hikmah di balik semua ujian.
Hari demi hari, wajah ganda Farid mulai retak. Seperti dinding rapuh yang ditopang oleh cat indah, perlahan kepalsuannya terkuak. Bisnis liciknya mulai dibongkar, fitnahnya kembali menghantam dirinya sendiri. Namun, masyarakat tetap percaya. “Farid itu orang alim,” begitu bisik mereka, buta oleh fasihnya lidah yang pandai menyebut nama Allah.
Hingga tibalah malam Jumat yang penuh rahasia. Masjid kembali padat, Farid memimpin doa dengan suara yang menggetarkan hati. Jamaah terisak, merasa disentuh oleh getaran iman. Namun, di balik kalimat-kalimat itu, hatinya tetap keruh. Ia adalah orang yang sibuk berbicara tentang cahaya, tetapi memilih berjalan dalam gelap. Usai doa, ia keluar dengan langkah mantap. Mobil mewahnya melaju kencang di jalan licin selepas hujan. Di persimpangan, suara rem meraung, api menyala, dan dalam sekejap mobil itu terguling, terbakar. Malam yang hening pecah oleh jerit dan kepanikan. Farid meninggal di tempat.
Kabar itu menghentak kota. Jamaah menangis, merasa kehilangan teladan. Pemakamannya dihadiri ribuan orang. Doa dan pujian mengalir deras, seakan ia benar-benar pergi dalam harum kesalehan.
Namun tiga malam setelah itu, rumah menjadi sunyi. Aisyah duduk seorang diri di kamar, hatinya bergetar seperti daun diterpa angin. Dengan tangan gemetar, ia membuka laci yang selama ini dijaga rapat oleh Farid. Di sana, tersimpan dokumen hitam: bukti suap, kontrak palsu, jejak kejahatan. Namun yang paling menusuk adalah selembar catatan kecil, ditulis dengan tinta yang nyaris pudar “Jika aku mati, biarlah mereka mengenangku sebagai orang baik. Padahal aku tahu siapa aku sebenarnya—seorang munafik yang pandai bersandiwara. Doaku hanyalah topeng, amalanku hanya riya. Aku tak pernah benar-benar takut pada Allah, meski lidahku tak berhenti menyebut nama-Nya.”
Kertas itu jatuh, air mata Aisyah tumpah membasahi lantai. Dunia boleh menganggap Farid suci, tetapi Allah Maha Tahu isi hati. Ia sadar, kebenaran tak selalu terungkap di hadapan manusia. Ada wajah-wajah yang tersimpan rapi dalam gelap, namun mustahil tersembunyi dari cahaya Ilahi.
Malam itu, Aisyah bersujud lebih lama dari biasanya. Bibirnya bergetar lirih: “Ya Allah, Engkau yang menyingkap segala rahasia. Jangan biarkan aku tertipu oleh cahaya semu. Jadikan hatiku setia mencari cahaya-Mu yang sejati.”
Dan sejak saat itu, setiap kali doa malam bergema di masjid, jamaah masih mengenang Farid dengan hormat. Namun bagi Aisyah, doa itu hanyalah gema kosong—pengingat pahit bahwa cahaya palsu mungkin memukau mata manusia, tapi tak pernah bisa menembus tirai keabadian. Karena di hadapan Allah, wajah ganda akan luruh, dan hanya hati yang tuluslah yang benar-benar bersinar.
Ditulis oleh: Taufan Hidayat diedit oleh Redaksi Gunungkidul TV