
MENJAGA LISAN, MENJAGA HATI, MENJAGA IMAN
Gunungkidul TV – Hidup ini bukan sekadar tentang menuntut orang lain untuk selalu mengerti kita, tetapi bagaimana kita belajar memahami, menghormati, dan menghargai orang lain. Banyak di antara kita yang terlalu mudah menertawakan kekurangan orang lain, atau mengambil keuntungan dari kelebihan yang Allah titipkan kepada sesama. Padahal, menjaga lisan dan hati adalah bentuk nyata ketaatan yang sering kita abaikan.
Setiap manusia diciptakan dengan kelebihan dan kekurangan. Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّن قَوْمٍ عَسَىٰ أَن يَكُونُوا خَيْرًا مِّنْهُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik daripada mereka (yang mengolok-olok).” (QS. Al-Hujurat: 11)
Ayat ini menegaskan bahwa mengejek, meremehkan, atau menjadikan kekurangan orang lain sebagai bahan candaan adalah perbuatan tercela. Kita sering lupa bahwa setiap ucapan kita akan dihisab, sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam kehidupan sosial, menghormati sesama adalah pilar penting untuk menjaga ukhuwah. Jika kita tidak mampu memahami orang lain, setidaknya kita bisa belajar diam dan tidak memperkeruh keadaan. Jika kita tak mampu menghargai, maka jangan pernah berpikir untuk mengkhianati. Karena pengkhianatan adalah luka yang sulit sembuh, merusak kepercayaan yang butuh waktu panjang untuk dibangun.
Allah juga berfirman:
وَأَوْفُوا بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْئُولًا
“Dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungjawabannya.” (QS. Al-Isra’: 34)
Menghormati berarti kita menghargai setiap batasan orang lain, tidak mengambil celah untuk keuntungan pribadi. Banyak orang yang memanfaatkan kelebihan seseorang demi kepentingan sesaat. Inilah yang kemudian menumbuhkan benih pengkhianatan. Padahal, Rasulullah ﷺ bersabda:
لَا إِيمَانَ لِمَنْ لَا أَمَانَةَ لَهُ وَلَا دِينَ لِمَنْ لَا عَهْدَ لَهُ
“Tidak beriman orang yang tidak amanah, dan tidak beragama orang yang tidak menepati janji.” (HR. Ahmad)
Jangan jadikan kebaikan orang lain sebagai kesempatan untuk mengambil keuntungan, apalagi sampai mengkhianati kepercayaan yang sudah diberikan. Jika kita tidak mampu menjaga, lebih baik kita mundur, daripada harus merusak nilai-nilai kemanusiaan.
Setiap lisan kita adalah cermin hati. Ketika hati bersih, maka ucapan kita pun menyejukkan. Sebaliknya, ketika hati kotor, lisan kita mudah melukai. Allah menilai setiap detail amal kita, sekecil apa pun. Sebagaimana firman-Nya:
فَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ وَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ
“Barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasannya). Dan barang siapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasannya).” (QS. Az-Zalzalah: 7-8)
Kita sering lupa bahwa hidup ini singkat. Tidak ada jaminan kita akan sempat meminta maaf atas lisan yang menyakiti, atau mengembalikan kepercayaan yang kita khianati. Maka, mari kita pelihara lisan dengan berkata baik, memuliakan orang lain, dan tidak mempermainkan perasaan. Satu senyuman tulus lebih berarti daripada seribu ejekan.
Menghormati bukan sekadar etika sosial, tetapi juga tanda ketakwaan. Rasulullah ﷺ pernah bersabda:
الدِّينُ النَّصِيحَةُ
“Agama itu nasihat.” (HR. Muslim)
Nasihat bukan hanya dalam bentuk kata, tetapi juga dalam perilaku, penghormatan, dan penghargaan. Jangan tunggu orang lain baik dahulu, baru kita menghormati. Mulailah dari diri sendiri, karena perubahan itu lahir dari kesadaran hati yang ikhlas. Semoga kita termasuk hamba yang senantiasa menjaga lisan, menahan diri dari mengolok, serta selalu menepati janji dan amanah. Sebab kelak, hanya hati yang bersih dan amal saleh yang menemani kita menghadap Allah.
Jangan biarkan kelebihan orang lain menjadi peluang merusak keikhlasan kita. Jangan pernah sekalipun menjadikan kekurangan orang lain sebagai bahan ejekan yang menodai nurani. Karena sesungguhnya, harga diri seseorang lebih mahal daripada dunia dan seisinya.
Mari kita belajar diam saat tak mampu memahami, belajar menahan saat tak sanggup menghargai, dan belajar setia saat diberi kepercayaan. Inilah jalan hidup yang penuh keberkahan, yang mengantarkan kita pada derajat insan mulia di sisi-Nya. (Red/Dwi Taufan Hidayat)